Ina
Kamis, 22 Desember 2016
Masa Pertumbuhan dan Perkembangan Pada Masa Islam
Masa Pertumbuhan dan Perkembangan Pada Masa Islam
Sumber :
Jamaluddin Kafie, Logika, Form Berpikir Logis, (Surabaya : Karya Anda, )
Buah tangan Aristotes diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada
sekitar Abad 7 Masehi, dan kemudian diberinya nama ilmu al-Mantiq.
Ilmu Mantiq yang merupakan terjemahan dari Ilmu Logika adalah
hasil karya para filosof Yunani sejak abad ke-4 SM. Kaum Sofis, Socrates dan
Plato adalah perintis lahirnya Logika. Sedangkan Logika lahir sebagai suatu
ilmu adalah atas jasa Aristoteles, Theoprostus dan kaum Stoa.[[10]]
Aristoteles
(384-322 SM) sebagai peletak dasar Ilmu Logika, meninggalkan enam buah buku
yang oleh murid-muridnya disebut Organon. Buku tersebut terdiri dari :
1. Categoriae (mengenai
pengertian-pengertian)
2. De Interpretiae (mengenai
keputusan-keputusan)
3. Analitica
priora (tentang silogisme atau menarik kesimpulan)
4. Analitica
posteriora (tentang pembuktian)
5. Topika (mengenai
berdebat)
6. De Sophisticis
Elenchis (tentang kesalahan-kesalahan berpikir).
Buku-buku
inilah yang kemudian menjadi dasar Logika Tradisional. Theoprostus
mengembangkan Logika Aristoteles ini, sedangkan kaum Stoa mengajukan
bentuk-bentuk berpikir yang sistematis.
Pada abad ke-8 Masehi, ketika agama Islam telah
tersebar di Jazirah Arab dan dipeluk secara meluas sampai ke timur dan
barat, perkembangan ilmu pengetahuan pun mengalami kemajuan yang pesat.
Puncaknya terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa
pemerintahan Khalifah Harun al Rasyid dan Al-Makmun. Pada masa itu terjadi
penerjemahan ilmu-ilmu filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, termasuk Ilmu
Logika. Ilmu ini sangat menarik perhatian kaum muslimin pada saat itu sehingga
dipelajari secara meluas. Diantara
mereka kemudian menulis buku Ilmu Mantiq dan mengembangkannya. Dalam berbagai segi, mereka mengislamisasikan ilmu
logika melalui contoh-contoh yang mereka munculkan. Ilmu Mantiq tidak saja
digunakan untuk mempertajam
dan mempercepat daya pikir dalam menarik kesimpulan yang benar, tetapi
juga membantu mengokohkan hujjah-hujjah agama dalam persoalan akidah.[10]
Di antara ulama dan cendekiawan muslim yang
mendalami Ilmu Mantiq dan menulis buku tentang mantiq adalah Abdullah ibn
al-Muqaffa’, Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi (185 H-260 H/801 M-873 M),
Muhammad Ibnu Zakaria al-Razi (251 H-313 H/865 M- 925 M), Abu Nasr al-Farabi
(258 H-339 H/870 M-950 M), Ibnu Sina (370 -428 H/980-1037 M), Abu Hamid
al-Ghazali, Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1198 M), al-Qurthubi dan lain-lain. [11] Al-Farabi kemudian
dikenal sebagai Guru Kedua Logika setelah Aristoteles.
Karya-karya Al-Farabi dibagi menjadi dua, mengenai logika dan filsafat.
Karya-karya tentang Logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari Organon-nya
Aristoteles, baik yang berbentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan
tulisan ini masih berupa naskah.
Selain Al-Farabi, juga dikenal Ibnu Sina sebagai Guru ke tiga
Logika. Buku Logika Ibnu Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di penghujung
abad ke-12. Yang lainnya adalah karya logika Ibn Rusyd di awal abad ke-14.
Terjemahan inilah yang disebarkan di Paris (Perancis) dan Oxford (Inggris).[12]
Pada masa kemunduran ilmu pengetahuan di dunia Islam, timbullah
berbagai kritikan terhadap Ilmu Mantiq / Logika karena dianggap logika
sebagai penyebab lahirnya paham-paham zindiq (atheis) karena terlalu memuja
akal fikiran di dalam mencari kebenaran. Sebagian ulama kemudian mengharamkan
mempelajari ilmu logika, seperti Imam an-Nawawi (1233-1277 M), Ibnu Shilah (1181-1243
M), Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) dan Sa’adduddin at-Taftazani (1322-1389 M).[13]
Pengaruh fatwa tersebut sangat kuat di kalangan umat Islam, sehinnga
kegiatan dan perkembangan alam fikiran dunia Islam mengalami kemacetan dan
kebekuan. Sementara dunia Barat sedang gembira menyambut zaman Kebangunan
(Renaissance) di Eropa (abad 13-14 M).
Menjelang penghujung abad ke-19 bangkitlah gerakan pembaharuan dunia
Islam yang dipelopori Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Sejalan dengan itu perhatian penuh terhadap logika muncul kembali di
Mesir.
Di Indonesia, Ilmu Mantiq pada mulanya dipelajari secara terbatas di
perguruan-perguruan agama dan pesantren. Ilmu Mantiq sampai ke Indonesia
bersama ilmu-ilmu agama lainnya yang dibawa oleh pelajar-pelajar muslim yang
belajar di Timur Tengah.
Ilmu logika baru dipelajari lebih luas setelah diperkenalkannya buku
Madilog karangan Tan Malaka yang terbit tahun 1951. Pada tahun 1954 Ilmu Mantiq
telah dipelajari secara lebih luas dan dimasukkan ke dalam kurikulum perguruan
tinggiSumber :
Jamaluddin Kafie, Logika, Form Berpikir Logis, (Surabaya : Karya Anda, )
Sejarah Logika
Sejarah Logika
Logika berasal dari kata Yunani kuno (Logos) yang
berarti hasil pertimbangan yang berasal dari akal pikiran yang diutarakan lewat
kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu cabang filsafat.
Sebagai ilmu, logika disebut dengan Logike Episteme (Latin: Logica Scientia)
atau Ilmu Logika (Ilmu Pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir
secara lurus, tepat, dan teratur. Ilmu disini mengacu pada kemampuan rasional
untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk
mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut
bisa juga diartikan dengan masuk akal.
Dalam
sejarah perkembangan logika muncul bersama dengan filsafat. Menurut sebagian
kisah sejarah Zeno dari Citium (±340 SM – 265 SM) disebutkan bahwa tokoh Stoa
adalah yang pertama kali menggunakan istilah logika. Namun demikian, akar
logika sudah terdapat dalam pikiran dialektis para filsuf mazhab Elea. Mereka
telah melihat masalah identitas dan perlawanan asas dalam realitas. Tetapi kaum
sofis-lah yang membuat fikiran manusia sebagai titik api pemikiran secara
eksplisit
Sumber :
DR.W. Poespoprodjo, “Logika Scientifika Pengantar Dialektika Dan Ilmu”, [Bandung;pustaka Grafika,1999]
DR.W. Poespoprodjo, “Logika Scientifika Pengantar Dialektika Dan Ilmu”, [Bandung;pustaka Grafika,1999]
Filsafat system
Filsafat system
Sumber : Silalahi, Ulber. (1999). Studi Tentang Ilmu Administrasi Konsep Teori dan Dimensi. Jakarta : Sinar Baru Algesindo
Aplikasi konsep system dalam praktek manajemen merupakan
filsafat manajemen system sebagai suatu ringkasan tujuan, metodologi dan
lingkup dari pandangan ini. Keseluruhan tujuan filosofi system harus dapat
memberikan fasilitas berupa produktifitas dan kepuasan melalui integrasi
organisasi (Shrode & Voich, 1974).
Asumsi yang berhubungan dengan sifat pekerjaan di mana
kinerja dan aliran barang-barang serta layanan (output) menjadi ukuran yang
berhubungan dengan aliran sumberdaya (input) dalam menentukan efisiensi system.
Asumsi ini merefleksikan satu penekanan atas integrasi proses kelompok dan
rasionalitas dalam menggunakan tehnik serta informasi kuantitatif dalam
permodelan pekerjaan serta keputusan dalam optimalisasi kerja. Asumsi yang
berhubungan dengan sifat alami individu sebagai orang dewasa yang kompleks dan
unik serta kompleks.
Edgar Schein telah meringkas pandangan sistemik sebagai
berikut : seseorang tidak hanya kompleks tetapi juga benar-benar bervariasi,
dia mempunyai banyak perbedaan dalam alasan, dia mampu belajar tentang alasan
baru melalui interaksi organisasi. Dalam sebuah organisasi yang sama mungkin
memiliki alasan berbeda-beda, dia akan memberikan reaksi dengan cara berbeda
kepada stimuli berbeda, tergantung pada alasan, kemampuan dan tugas-tugasnya.
Filsafat system memandang manajemen sebagai sebuah system
yang terdiri atas kesatuan subsistem yang saling berhubungan antara
kewenenangan dan tanggungjawab. Pandangan konsep system sebagai penekanan
dihubungkan dengan keseluruhan dan interrelasi bagian-bagian, sehingga dapat
menyediakan satu atau lebih pemahaman tentang kebenaran dari sifat alami
manajemen. Pandangan system mengenali manajemen sebagai sebuah system sumber
daya yang menguasai sekumpulan karakteristik sistemik dinamis untuk mencapai
produktivitas dan kepusan organisasi secara keseluruhan.
Filsafat system muncul untuk merespon tumbuhnya kompleksitas
lingkungan, ledakan pengetahuan, meningkatnya spesialisasi dan perubahan nilai
manusia-sosial. Warren Schmidt mengatakan bahwa tempat kita hidup ini bukan
tempat terpisah – kita berasal dari banyak tempat. Kita tidak bisa hanya
menyelesaikan satu masalah- setiap masalah merupakan proses berlanjut.
Peristiwa tidaklah tunggal – hari ini tidak berbeda dengan kemarin.
Perubahan terjadi di semua aspek kehidupan: ekonomi,
pendidikan, pemerintah, teknologi dan kemanusiaan. Nilai-nilai pun berubah
seperti diidentifikasi Ian H. Wilson (How Our Values Are Changing, 1970) :
• dari organisasi ke individu
• dari konformitas ke orisinalitas
• dari independen ke interdependen
• dari social ke privasi
• dari materialism ke kualitas kehidupan
• dari status quo ke perubahan
• dari masa depan ke sekarang
• dari kerja ke santai
• dari otoritas ke partisipasi
• dari sentralisasi ke desentralisasi
• dari ideology ke pragmatism
• dari moralitas absolute ke etika situasional
• dari efisiensi ekonomi ke keadilan social
• dari alat ke tujuanSumber : Silalahi, Ulber. (1999). Studi Tentang Ilmu Administrasi Konsep Teori dan Dimensi. Jakarta : Sinar Baru Algesindo
Filsafat administrasi pendidikan
Filsafat administrasi pendidikan
Sumber : Siagian, Sondang P. (2003). Filsafat Administrasi (edisi revisi). Jakarta : Penerbit Bumi Aksara
Untuk memahami filsafat administrasi pendidikan, perlu
dipahami terlebih dahulu secara etimologis dari makna filsafat, administrasi,
dan pendidikan sebelum menemukan sintesis yang menghasilkan konsep filsafat
administrasi pendidikan.
Filsafat
Filsafat dalam bahasa Yunani berasal dari dua suku kata
philos dan Sophia. Philos diartikan sebagai cinta, sedangkan Sophia diartikan
kearifan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat berarti cinta kepada
kebijaksanaan. Menjadi bijaksana berarti berusaha mendalami hakikat sesuatu.
Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa berfilsafat berarti berusaha
mengetahui tentang sesuatu dengan sedalam-dalamnya, baik mengenai hakikatnya,
fungsinya, ciri-cirinya , kegunaannya , masalah-masalahnya serta
pemecahan-pemecahan terhadap masalah-masalah itu .
Administrasi
Administrasi didefinisikan sebagai keseluruhan proses kerja
sama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas
tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian,
2008:2). Dengan demikian administrasi mengandung hal-hal sebagai berikut :
1. Administrasi sebagai seni adalah suatu proses yang
diketahui permulaannya namun tidak diketahui akhirnya;
2. Administrasi memiliki unsure-unsur sebagai berikut :
• Adanya dua orang atau lebih
• Adanya tujuan yang hendak dicapai
• Adanya tugas-tugas yang akan dilaksanakan
• Adanya peralatan dan perlengkapan untuk melaksanakan
tuga-tugas tersebut (waktu, tempat, material, sarana lainnya);
3. Administrasi sebagai proses kerja sama bukan merupakan
hal yang baru karena ia timbul bersam-sama dengan timbulnya peradabanmanusia.
Administrasi sebagai seni sebagai fenomena social.
Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudakan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara
(Undang-undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Selanjutnya dikatakan bahwa pendidikan nasional adalah
pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional
Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Pendidikan merupakan suatu system. Sistem pendidikan
nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara
terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Dengan demikian filsafat administrasi pendidikan merupakan
upaya yang mendalam untuk mengetahui hakikat dari proses kerjasama manusia
mencapai tujuan bersama di bidang pendidikan secara sistemik.Sumber : Siagian, Sondang P. (2003). Filsafat Administrasi (edisi revisi). Jakarta : Penerbit Bumi Aksara
OBJEK FORMA FILSAFAT ADMINISTRASI
OBJEK FORMA FILSAFAT ADMINISTRASI
Obyek forma filsafat administrasi adalah keteraturan,
pengaturan, atau dalam lingkup yang luas yaitu administration (Inggris) atau
beheren atau bestuur (Belanda) yang berarti “pemerintah, pemerintahan” yang
kesemuanya sebagai hasil dari pendekatan yang digunakan.
Artinya, dengan pendekatan yang digunakan, akan memberi
batas terhadap apa yang menjadi objek materia dari filsafat yang dikaji.
Pendekatan atau yang menjadi pembatas inilah yang menempatkan
perbedaan suatu kajian filsafat tertentu.
Keteraturan, pengaturan, kepemerintahan sebagai obyek forma
filsafat administrasi secara substansial atau secara esensial akan nampak pada
hubungan pengatur dengan pihak yang diatur, baik itu dalam konteks internal
kerjasama yang berlangsung maupun secara eksternalberlangsung antara individu
sebagai manusia subyek administrasi dengan individu dalam kehidupan yang lebih
luas, apakah dalam realitas kehidupan kelompok kecil hingga pada kehidupan
masyarakat, bahkan negara sekalipun sebagai objek yang harus dilayani, diayomi
dan diberdayakan oleh para subyek administrasi.
Dalam artian yang lebih luas dan mendalam, esensi
keteraturan dalam administrasi akan Nampak pada hubungan pemerintahan yang
berlangsung secara fungsional yang diciptakan oleh para subjek administrasi
sebagai pemerintah dengan para subjek yang diatur sebagai pihak yang
diperintah.
Bagaimana hubungan itu berlangsung melalui: filsafat
administrasi, kita akan memahaminya lewat hubungan pengaturan, yaitu hubungan
pemerintahan.
Dalam rangka pemahaman itulah maka akan banyak ditemukan
berbagai hal yang berkaitan dengan jawaban-jawaban yang harus diberikan secara
filosofis, mulai dari persoalan gejala (fenomena) administrasi, normative
administrasi hingga pada probabilistic administrasi.
Sumber:
Faried Ali, 2004, Filsafat Administrasi, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
ontologi, epistimologi dan aksiologi administrasi
Ontologi Administrasi
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
tentang “yang ada”. “Yang ada” disini memiliki pengertian yaitu : pertama, istilah ini menunjuk terhadap
apa-apa yang benar-benar ada di dunia, baik “yang ada” sebagai kenyataan, yang
tampak di depan mata ataupun dapat dicerap oleh pancaindera.[3]
Pemikiran ontologi dalam administrasi tentunya
diawali dari pembuktian, atau dengan kata lain penyelidikan yang dilakukan
secara sadar dan mendalam sampai ke akar permasalahan yang sesungguhnya dan
dapat diberlakukan kapan dan dimana saja serta relatif fundamental kandungan
kebenarannya. Ontologi ilmu administrasi mencari pengertian menurut asal mula
dan akar kata yang paling terdalam.[4]
Dengan kata lain, ontologi administrasi adalah
pemikiran yang berdasarkan hakikat dan makna yang dikandung ilmu administrasi
itu sendiri sebagai salah satu cabang ilmu administrasi.
1.
Kedudukan Ontologi Administrasi
Kedudukan ontologi administrasi adalah merupakan
pangkal dasar dalam pengembangan pemikiran terhadap pembenaran dan kebenaran
yang dikandung oleh ilmu administrasi itu sendiri.
Ontologis ilmu administrasi bercorak total daripada
hal-hal yang bercirikan abstraksi dan konkret. Ontologi ilmu administrasi yang
bercirikan asbtraksi karena hanya berada dalam pikiran manusia yang sifatnya
sangat tidak terbatas dan jangkauannya hanya dapat dijangkau akal pikiran.
Sedangkan ontologi administrasi yang bercirikan konkret karena memang dapat
diamati langsung oleh pancaindra manusia dan hasilnya secara langsung dapat
dinikmati.
2.
Metode Ontologi Administrasi
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam ontologi
administrasi diperlukan metode berpikir yang bekerja cepat dan tepat. Dengan
demikian, ontologi administrasi senantiasa menanyakan sesuatu yang telah
dimengerti atau dikenal, karena pertanyaan adalah bagian dari nalar sebagai
produk pemikiran manusia.
Pemahaman ontologi ilmu administrasi senada dengan
keinsafan manusia terhadap dirinya sendiri sebelum melaksanakan berbagai
aktiftasnya. Segala perkembangan, baik pada diri sendiri manusia ataupun pada
bidang ilmu administrasi telah termuat dalam batas-batas kemampuan kedua hal
tersebut, tidak akan dapat melampauinya. Yang ada di luar batasannya tidak akan
dapat dipertanyakan, karena memang bukan batas dalam pikiran manusia di bidang
administrasi.
3.
Potensi Ontologi Administrasi
Dengan spontanitas, dapat dikatakan bahwa potensi
ontologi ilmu administrasi adalah pemikiran manusia terhadap isi dunia ini.
Pada hakikatnya, tidak ada halangan atau hambatan bagi para ilmuwan
administrasi dimana saja dan kapan saja untuk melakukan tindakan dan pemikiran
tentang penciptaan pengaturan dan keteraturan it secara optimal. Segala jenis
bipolaritas yang mensyaratkan terciptanya pengaturan dan keteraturan dalam ilmu
administrasi menunjukan adanya kemungkinan, dan bahkan keinginan akan
integritas secara maksimal.
Kewajiban para ilmuwan administrasi dalam rangka
berpikir, berdasarkan pemikiran ontologi secara kebenaran transidental dan
kebenaran empirikal, terletak pada struktur penalaran setiap ilmuwan
administrasi. Jikalau terjadi kekurangan harmoni, kekurangan kebenaran, dan
kebaikan, maka hal itu bukanlah muncul dari hakikat ontologi ilmu administrasi,
tetapi merupakan suatu kejadian entah karena alasan apa dan kenyataan selalu
ada, sepanjang masih ada yang ada.
4.
Normatif Ontologi Administrasi
Keberadaan hakikat kandungan normatif ontologi
administrasi secara transidental dan empirikal sesungguhnya dapat dibedakan
atas dua aspek utama. Kebenaran adalah keharmonisan dan sintesis yang maksimal
dalam hal pemberian pengertian atau pemahaman terhadap ontologi ilmu
administrasi, dan kedua, kebaikan adalah keharmonisan dalam hal penilaian dan
pilihan nilai terhadap ontologi ilmu administrasi.
Namun, kebenaran dan kebaikan ontologi ilmu
administrasi dalam kehidupan dan penghidupan manusia bukanlah dua hal yang
berdampingan saja, tetapi merupakan suatu bipolaritas struktur dalam pemikiran
manusia itu sendiri. Kebenaran dan kebaikan senantiasa selalu dalam kesejajaran
dan seukuran.
5.
Positivisme Administrasi
Aliran positivisme dalam ilmu administrasi pada
dasarnya berpangkal dari hati nurani manusia yang memancarkan kebenaran.
Pancaran kebenaran hati nurani ini diproses dalam pemikiran dengan
menghubungkan realita konkret maupun realita abstraksi tentang fenomena atau
nomena administrasi, yang selanjutnya dipersepsikan melaluis suatu argumentasi.
6.
Rasionalisme Administrasi
Rasionalisme administrasi adalah suatu metode yang
digunakan untuk memperoleh pengetahuan di bidang administrasi. Paham
rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan berasal dari akal pikiran.
Disamping itu, aliran rasionalisme, tidak mengingkari adanya pengalaman, tetapi
pengalaman itu menjadi perangsang terhadap proses pemikiran. Descartes, sebagai
pelopor aliran rasionalisme, senantiasa berusaha menemukan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi sehingga
mengantarkan manusia kepada cahaya terang.
C.
Epistemologi Ilmu Administrasi
Epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan logos diartikan pikiran, kata, atau
teori. Epistemologi secara etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang
dalam bahasa Inggrisnya menjadi theory of
knowledge.
Secara istilah, epistemologi adalah bagian filsafat
yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula
pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan kesahihan pengetahuan.[5]
Ilmu pengetahuan di bidang administrasi adalah suatu
pernyataan terhadap materi atau konten, bentuk atau form, serta objek formal
dan materiilnya. Secara epistemologi, ilmu administrasi cenderung untuk
membatasi diri pada hal-hal tentang persepsi dan pemahaman intelektual
seseorang. Pengetahuan ilmu administrasi dapat membawa manusia kepada peristiwa
kesadaran dari dari seluruh pemaknaan yang dikandung ilmu administrasi itu
sendiri.
1.
Objektivisme Administrasi
Hakikat dasar dari pengetahuan administrasi manusia
mensyaratkan adanya makna apriori (kebenaran dasar) sebagai realita fundamnetal
dan tidak relatif, sedangkan kebenaran realita yang telah mengalami perubahan
dari nilai dasar dan kebenaran relatif tertuang dalam hakikat aposteriori.
Berpikir apriori dalam ilmu administrasi merupakan salah satu kajian dari
konsep objektivisme, dengan bermuara kepada rasionalisme yang dalam
perkembangannya mengalami tiga tahapan proses berpikir manusia dalam bidang
ilmu administrasi. Pertama, kesadaran
objek administrasi itu sendiri. Kedua,
kesadaran bahwa adanya perbedaan penalaran terhadap objek administrasi. Ketiga, pemahaman terhadap hubungan yang
terjadi antarberbagai entitas, baik perbedaan maupun persamaannya.
Penelusuran objektivitas pemikiran dalam
administrasi dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang objek materialnya, adalah sesuatu yang
menjadi sasaran perhatian secara detail tentang makna kandungan penalaran dalam
pemikiran manusia yang mempelajari ilmu administrasi. Kedua, dari sudut pandang objek formalnya, bahwa ilmu administrasi
memiliki ruang lingkup kajian dengan metode yang jelas.
2.
Subjektivisme Administrasi
Fenomena sosial menunjukan bahwa pemikiran
subjektivisme telah berada di semua lini kehidupan, baik kehidupan birokrasi,
pengusaha, maupun kehidupan sosial kemasyarakatan, semuanya menghendaki
keadilan, tetapi yang dirasakan adalah ketidakadilan. Karl Marx memberikan
argumentasi tentang rasa keadilan dengan pembagian sesuatu “ambillah
masing-masing menurut kemampuannya” dan “berilah masing-masing menurut
kebutuhannya”.
3.
Skeptisisme Administrasi
Skeptisisme adalah suatu kondisi atau perasaan yang
dialami seseorang akibat tidak terpenuhinya sesuatu yang diinginkan.
Akar permasalahan terjadinya skeptisisme rupanya
menunjukan jenis kepastian tertentu yang tidak dimiliki oleh para birokrasi
bersangkutan sebagai pengelola administrasi negara yang berdampak negatif ,
dimana kepercayaan publik semakin berkurang dan kecurigaan semakin bertambah.
D.
Aksiologi Administrasi
Aksiologi membahas tentang nilai dalam kehidupan
manusia. Aksiologi mencakup dua cabang filsafat yang terkenal yaitu etika dan
estetika. Etika membahas hal buruk dan baik perbuatan manusia, dan estetika
membicarakan tentang keindahan.
Aksiologi ilmu administrasi adalah suatu usaha yang
dilakukan secara sadar dan terencana dalam angka pemanfaatan, atau dengan kata
lain penerapan ilmu administrasi yang teratur dan produktif. Ilmu administrasi
yang dimanfaatkan secara positif memungkinkan manusia lebih leluasan untuk
berinteraksi dengan sesama manusia maupun dengan lingkungannya, demikian juga
bahwa ilmu administrasi dapat meningkatkan martabat manusia. Karena dengan
memanfaatkan kebenaran ilmu administrasi akan semakin teruji kualitasnya serta
semakin tampak bahwa ilmuwan administrasi sebagai makhluk yang termulia di muka
bumi ini.
sumber : Makmur, Filsafat Administrasi, Jakarta : Bumi
Aksara, Cetakan ke-3, 2012. Hal.39 -40
Masykur
Arif Rahman, Loc.cit. hal 49
Makmur,
Loc.cit, hal 40
Surajiyo, Filsafat Ilmu, Jakarta :
Bumi Aksara, Cetakan ke-8, 2015. hal. 26
Langganan:
Komentar (Atom)