Istilah
ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu ta
onta berarti “yang berada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan atau
ajaran. Maka ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan.[1]
Namun pada
dasarnya term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf
Goclenius pada
tahun 1636 M. untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat
metafisis. Dalam perkembanganya Cristian Wolff membagi metafisika menjadi dua,
yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum dimaksudkan
sebagai istilah lain dari ontologi.[2]
Bidang
pembicaraan teori hakikat luas sekali, segala yang ada yang mungkin ada, yang
boleh juga mencakup pengetahuan dan nilai (yang dicarinya ialah hakikat
pengetahuan dan hakikat nilai). Nama lain untuk teori hakikat ialah teori
tentang keadaan. Hakikat ialah realitas, realitas ialah kerealan, real artinya
kenyataan yang sebenarnya, jadi hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya,
keadaan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang menipu,
bukan keadaan yang meberubah.[3]
Ontologi
menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang
berbeda dimana entitas (wujud) dari kategori-kategori yang logis yang
berlainan (objek-objek fisik, hal universal, abstraksi) dapat dikatakan ada
dalam rangka tradisional. ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip
umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaianya akhir-akhir ini ontologi
dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.
Ontologi sering
diindetikan dengan metafisika yang juga disebut proto-filsafia atau filsafat
yang pertama, atau filsafat ketuhanan yang bahasanya adalah hakikat sesuatu,
keesaan, persekutuan, sebab akibat, realita, atau Tuhan dengan segala sifatnya.[4]
Dengan
demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan prinsip paling dasar atau dalam dari segala sesuatu yang ada.
Para ahli
memberikan pendapatnya tentang realita itu sendiri, diantaranya Bramel. Ia
mengatakan bahwa ontologi ialah interpretasi tentang suatu realita dapat
bervariasi, misalnya apakah bentuk dari suatu meja, pasti setiap orang
berbeda-beda pendapat mengenai bentuknya, tetapi jika ditanyakan bahanya
pastilah meja itu substansi dengan kualitas materi, inilah yang dimaksud dari
setiap orang bahwa suatu meja itu suatu realita yang kongkrit. Plato mengatakan
jika berada di dua dunia yang kita lihat dan kita hayati dengan kelima panca
indra kita nampaknya cukup nyata atau real.
Adapun mengenai
objek material ontologi ialah yang ada, yaitu ada
individu, ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, ada
mutlak, termasuk kosmologi dan metafisika dan ada sesudah kematian maupun
sumber segala yang ada. Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas,
bagi pendekatan kualitif, realitas tranpil dalam kuantitas atau jumlah,
telaahnya menjadi telaah monism, paralerisme atau plurarisme.[5]
Fungsi dan manfaat mempelajari ontologi sebagai cabang filsafat ilmu antara
lain:
Pertama : berfungsi sebagai refleksi kritis atas objek atau bidang garapan,
konsep-konsep, asumsi-asumsi dan postulat-postulat ilmu. Di antara asumsi dasar
keilmuan antara lain:
(1)
dunia ini
ada, dan kita dapat mengetahui bahwa dunia ini benar-benar ada.
(2)
dunia
empiris itu dapat diketahui oleh manusia dengan pancaindera.
(3)
fenomena
yang terdapat di di dunia ini berhubungan satu dengan lainnya secara kausal.
Kedua: Ontologi membantu ilmu untuk menyusun suatu pandangan dunia yang
integral, komphrehensif dan koheren. Ilmu dengan ciri khasnya mengkaji hal-hal
yang khusus untuk dikaji secara tuntas yang pada akhirnya diharapkan dapat
memperoleh gambaran tentang objek telaahannya, namun pada kenyataannya kadang
hasil temuan ilmiah berhenti pada simpulan-simpulan yang parsial dan
terpisah-pisah. Jika terjadi seperti itu, ilmuwan berarti tidak mampu
mengintegrasikan pengetahuan tersebut dengan pengetahuan lain.
Ketiga: Ontologi memberikan masukan informasi untuk mengatasi permasalahan
yang tidak mampu dipecahkan oleh ilmu-ilmu khusus. Pembagian objek kajian ilmu
yang satu dengan lainnya kadang menimbulkan berbagai permasalahan, di antaranya
ada kemungkinan terjadinya konflik perebutan bidang kajian, misalnya ilmu
bioetika itu masuk disiplin etika atau disiplin biologi. Kemungkinan lain
adalah justru terbukanya bidang kajian yang sama sekali belum dikaji oleh ilmu
apa pun. Dalam hal ini ontologi berfungsi membantu memetakan batas-batas kajian
ilmu. Dengan demikian berkembanglah ilmu-ilmu yang dapat diketahui manusia itu
dari tahun ke tahun atau dari abad ke abad.Sumber :
Ahmad, Mudlor. 1994. Ilmu Dan Keinginan Tabu (Epistemologi Dalam Filsafat). Bandung: Trigenda Karya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar