Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
tentang “yang ada”. “Yang ada” disini memiliki pengertian yaitu : pertama, istilah ini menunjuk terhadap
apa-apa yang benar-benar ada di dunia, baik “yang ada” sebagai kenyataan, yang
tampak di depan mata ataupun dapat dicerap oleh pancaindera.[3]
Pemikiran ontologi dalam administrasi tentunya
diawali dari pembuktian, atau dengan kata lain penyelidikan yang dilakukan
secara sadar dan mendalam sampai ke akar permasalahan yang sesungguhnya dan
dapat diberlakukan kapan dan dimana saja serta relatif fundamental kandungan
kebenarannya. Ontologi ilmu administrasi mencari pengertian menurut asal mula
dan akar kata yang paling terdalam.[4]
Dengan kata lain, ontologi administrasi adalah
pemikiran yang berdasarkan hakikat dan makna yang dikandung ilmu administrasi
itu sendiri sebagai salah satu cabang ilmu administrasi.
1.
Kedudukan Ontologi Administrasi
Kedudukan ontologi administrasi adalah merupakan
pangkal dasar dalam pengembangan pemikiran terhadap pembenaran dan kebenaran
yang dikandung oleh ilmu administrasi itu sendiri.
Ontologis ilmu administrasi bercorak total daripada
hal-hal yang bercirikan abstraksi dan konkret. Ontologi ilmu administrasi yang
bercirikan asbtraksi karena hanya berada dalam pikiran manusia yang sifatnya
sangat tidak terbatas dan jangkauannya hanya dapat dijangkau akal pikiran.
Sedangkan ontologi administrasi yang bercirikan konkret karena memang dapat
diamati langsung oleh pancaindra manusia dan hasilnya secara langsung dapat
dinikmati.
2.
Metode Ontologi Administrasi
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam ontologi
administrasi diperlukan metode berpikir yang bekerja cepat dan tepat. Dengan
demikian, ontologi administrasi senantiasa menanyakan sesuatu yang telah
dimengerti atau dikenal, karena pertanyaan adalah bagian dari nalar sebagai
produk pemikiran manusia.
Pemahaman ontologi ilmu administrasi senada dengan
keinsafan manusia terhadap dirinya sendiri sebelum melaksanakan berbagai
aktiftasnya. Segala perkembangan, baik pada diri sendiri manusia ataupun pada
bidang ilmu administrasi telah termuat dalam batas-batas kemampuan kedua hal
tersebut, tidak akan dapat melampauinya. Yang ada di luar batasannya tidak akan
dapat dipertanyakan, karena memang bukan batas dalam pikiran manusia di bidang
administrasi.
3.
Potensi Ontologi Administrasi
Dengan spontanitas, dapat dikatakan bahwa potensi
ontologi ilmu administrasi adalah pemikiran manusia terhadap isi dunia ini.
Pada hakikatnya, tidak ada halangan atau hambatan bagi para ilmuwan
administrasi dimana saja dan kapan saja untuk melakukan tindakan dan pemikiran
tentang penciptaan pengaturan dan keteraturan it secara optimal. Segala jenis
bipolaritas yang mensyaratkan terciptanya pengaturan dan keteraturan dalam ilmu
administrasi menunjukan adanya kemungkinan, dan bahkan keinginan akan
integritas secara maksimal.
Kewajiban para ilmuwan administrasi dalam rangka
berpikir, berdasarkan pemikiran ontologi secara kebenaran transidental dan
kebenaran empirikal, terletak pada struktur penalaran setiap ilmuwan
administrasi. Jikalau terjadi kekurangan harmoni, kekurangan kebenaran, dan
kebaikan, maka hal itu bukanlah muncul dari hakikat ontologi ilmu administrasi,
tetapi merupakan suatu kejadian entah karena alasan apa dan kenyataan selalu
ada, sepanjang masih ada yang ada.
4.
Normatif Ontologi Administrasi
Keberadaan hakikat kandungan normatif ontologi
administrasi secara transidental dan empirikal sesungguhnya dapat dibedakan
atas dua aspek utama. Kebenaran adalah keharmonisan dan sintesis yang maksimal
dalam hal pemberian pengertian atau pemahaman terhadap ontologi ilmu
administrasi, dan kedua, kebaikan adalah keharmonisan dalam hal penilaian dan
pilihan nilai terhadap ontologi ilmu administrasi.
Namun, kebenaran dan kebaikan ontologi ilmu
administrasi dalam kehidupan dan penghidupan manusia bukanlah dua hal yang
berdampingan saja, tetapi merupakan suatu bipolaritas struktur dalam pemikiran
manusia itu sendiri. Kebenaran dan kebaikan senantiasa selalu dalam kesejajaran
dan seukuran.
5.
Positivisme Administrasi
Aliran positivisme dalam ilmu administrasi pada
dasarnya berpangkal dari hati nurani manusia yang memancarkan kebenaran.
Pancaran kebenaran hati nurani ini diproses dalam pemikiran dengan
menghubungkan realita konkret maupun realita abstraksi tentang fenomena atau
nomena administrasi, yang selanjutnya dipersepsikan melaluis suatu argumentasi.
6.
Rasionalisme Administrasi
Rasionalisme administrasi adalah suatu metode yang
digunakan untuk memperoleh pengetahuan di bidang administrasi. Paham
rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan berasal dari akal pikiran.
Disamping itu, aliran rasionalisme, tidak mengingkari adanya pengalaman, tetapi
pengalaman itu menjadi perangsang terhadap proses pemikiran. Descartes, sebagai
pelopor aliran rasionalisme, senantiasa berusaha menemukan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi sehingga
mengantarkan manusia kepada cahaya terang.
C.
Epistemologi Ilmu Administrasi
Epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan logos diartikan pikiran, kata, atau
teori. Epistemologi secara etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang
dalam bahasa Inggrisnya menjadi theory of
knowledge.
Secara istilah, epistemologi adalah bagian filsafat
yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula
pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan kesahihan pengetahuan.[5]
Ilmu pengetahuan di bidang administrasi adalah suatu
pernyataan terhadap materi atau konten, bentuk atau form, serta objek formal
dan materiilnya. Secara epistemologi, ilmu administrasi cenderung untuk
membatasi diri pada hal-hal tentang persepsi dan pemahaman intelektual
seseorang. Pengetahuan ilmu administrasi dapat membawa manusia kepada peristiwa
kesadaran dari dari seluruh pemaknaan yang dikandung ilmu administrasi itu
sendiri.
1.
Objektivisme Administrasi
Hakikat dasar dari pengetahuan administrasi manusia
mensyaratkan adanya makna apriori (kebenaran dasar) sebagai realita fundamnetal
dan tidak relatif, sedangkan kebenaran realita yang telah mengalami perubahan
dari nilai dasar dan kebenaran relatif tertuang dalam hakikat aposteriori.
Berpikir apriori dalam ilmu administrasi merupakan salah satu kajian dari
konsep objektivisme, dengan bermuara kepada rasionalisme yang dalam
perkembangannya mengalami tiga tahapan proses berpikir manusia dalam bidang
ilmu administrasi. Pertama, kesadaran
objek administrasi itu sendiri. Kedua,
kesadaran bahwa adanya perbedaan penalaran terhadap objek administrasi. Ketiga, pemahaman terhadap hubungan yang
terjadi antarberbagai entitas, baik perbedaan maupun persamaannya.
Penelusuran objektivitas pemikiran dalam
administrasi dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang objek materialnya, adalah sesuatu yang
menjadi sasaran perhatian secara detail tentang makna kandungan penalaran dalam
pemikiran manusia yang mempelajari ilmu administrasi. Kedua, dari sudut pandang objek formalnya, bahwa ilmu administrasi
memiliki ruang lingkup kajian dengan metode yang jelas.
2.
Subjektivisme Administrasi
Fenomena sosial menunjukan bahwa pemikiran
subjektivisme telah berada di semua lini kehidupan, baik kehidupan birokrasi,
pengusaha, maupun kehidupan sosial kemasyarakatan, semuanya menghendaki
keadilan, tetapi yang dirasakan adalah ketidakadilan. Karl Marx memberikan
argumentasi tentang rasa keadilan dengan pembagian sesuatu “ambillah
masing-masing menurut kemampuannya” dan “berilah masing-masing menurut
kebutuhannya”.
3.
Skeptisisme Administrasi
Skeptisisme adalah suatu kondisi atau perasaan yang
dialami seseorang akibat tidak terpenuhinya sesuatu yang diinginkan.
Akar permasalahan terjadinya skeptisisme rupanya
menunjukan jenis kepastian tertentu yang tidak dimiliki oleh para birokrasi
bersangkutan sebagai pengelola administrasi negara yang berdampak negatif ,
dimana kepercayaan publik semakin berkurang dan kecurigaan semakin bertambah.
D.
Aksiologi Administrasi
Aksiologi membahas tentang nilai dalam kehidupan
manusia. Aksiologi mencakup dua cabang filsafat yang terkenal yaitu etika dan
estetika. Etika membahas hal buruk dan baik perbuatan manusia, dan estetika
membicarakan tentang keindahan.
Aksiologi ilmu administrasi adalah suatu usaha yang
dilakukan secara sadar dan terencana dalam angka pemanfaatan, atau dengan kata
lain penerapan ilmu administrasi yang teratur dan produktif. Ilmu administrasi
yang dimanfaatkan secara positif memungkinkan manusia lebih leluasan untuk
berinteraksi dengan sesama manusia maupun dengan lingkungannya, demikian juga
bahwa ilmu administrasi dapat meningkatkan martabat manusia. Karena dengan
memanfaatkan kebenaran ilmu administrasi akan semakin teruji kualitasnya serta
semakin tampak bahwa ilmuwan administrasi sebagai makhluk yang termulia di muka
bumi ini.
sumber : Makmur, Filsafat Administrasi, Jakarta : Bumi
Aksara, Cetakan ke-3, 2012. Hal.39 -40
Masykur
Arif Rahman, Loc.cit. hal 49
Makmur,
Loc.cit, hal 40
Surajiyo, Filsafat Ilmu, Jakarta :
Bumi Aksara, Cetakan ke-8, 2015. hal. 26
Terima kasih...ulasannya sangat bermanfaat.
BalasHapusTerimakasih atas jawabannya ini sangat membantu saya...
BalasHapus