Rabu, 21 Desember 2016

pengertian epistimologi pendidikan



Epistimologi Pendidikan : Pikiran, Perasaan dan Kemauan
Epistimologi atau teori pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat ilmu pengetahuan, penggadai-penggadaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. 
Epistimologi  pendidikan dimengerti sebagai cara-cara memindah pengetahuan dari guru ke peserta didik. Cara-cara itu memanfaatkan metodologi positivis yang saat ini sedang populer. Gagasan Tan Malaka yang orisinil tentang pengetahuan memberikan pengaruh yang luat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan secara umum di bidang politik, ekonomi, dan social budaya masa kini dapat di lihat sebagian dari cerminan gagasan Tan Malaka. Pendidikan bagi Tan Malaka harus mencakup tiga hal :
1.            Materi pendidikan merupakan bahan yang berasal dari pikiran
2.            Materi itu harus memiliki dampak dari perasaan.
3.            Materi pendidikan haruslah menghasilkan kemauan (Tan Malaka, 1999:462)
Jadi dasar pendidikan di Indonesia untuk menghasilkan pengetahuan yang berkualitas mencakup pikiran, perasaan, dan kemauan. Pikiran adalah segala hal yang terkait dengan kognitif, analitis dan sintesis. Sementara itu, perasaan terkait dengan segala bentuk nilai, kualitas, hingga daya kesenian yang mempertajam nilai-nilai kemanusiaan. Sementara itu, kemauan merupakan bagian dari prilaku yang di perlihatkan oleh peserta didik secra empiris. Penilaian kemajuan atau keberhasilan dari sebuah pendidikan dalam konsepsi Madilog haruslah di dasarkan pada data-data yang bersifat empiris kemudian di tarik di dalam wilayah yang bersifat esensial.
Menurut pemikiran Tan Malaka (1999:91), “materi adalah yang bias di ungkap dengan pancaindera”. Madilog lanjut Tan Malaka adalah sebuah cara berfikir. Karena “dari cara orang berfikir, kita dapat duga filsafatnya dan dari filsafatnya dan dari filsafatnya kita bias tahu dengan cara dan metode apa dia sampai ke filsafat itu”.
Tan Malaka menyanggah bahwa pemikiran madilog sama dengan materialism kritis atau materialisme logis. Sebab di dalam pemikian tersebut, lanjut Tan Malaka, tidak mengahui adanya dialektika. Pemikiran kritis sebagaimana yang di pahami Tan Malaka adalah pemikiran yang di dasarkan pada analitis dan fakta-fakta belaka. Sementara itu, sintesis tidak muncul. Sintesis adalah kata lain dari dialektika.
Murid yang cerdas akan sadar bahwa kalau dia akan sadar bahwa dia sudah paham satu cara, satu kerja, satu kunci untuk menyelesaikan segolongan persoalan, maka tidaklah perlu ia menhadap berpuluh-puluh persoalan atau jawaban pilihan atau ratusan per-soalan, tetpi cukuo ia berpegang pada cara atau kunci persoalan tadi. (Tan Malaka, 1999:21)
Itulah kenapa, bagi Tan Malaka, sebuah pendidikan yang bermutu adalah upaya untuk menyadarkan peserta didik agar menggunakan logika mereka. Pada kenyataannya, sekarang ini, peserta didik masih menggunakan pola pikir mistik. Pola pikir mistik ini dijadikan sebagai dasar untuk memahami fakta-fakta yang di sekitar kita. Tan Malaka merujuk pada cerita-cerita mitos sebagai legitimasi atas fenomena-fenomena actual. Ia mempercayai adanya kekuatan pikiran manusia menjawab fenomena alam dengan logika dan dialektika. Karena itu, pendidikan haruslah memberikan pemikiran yang bersifat mistis.
Dia menolak sebuah traisi di dalam matrelisme. Pada sisi lain, dia juga menggunakan tradisi kritik untuk menolak system pengetahuan yang di dasarkan pada mitos ia menolak tradisi kritik karena ia berpegangan pada perkembangan yang bersifat dialektif. Perkembangan dialektis berusaha merangkum dua hal yang bertentangan. Sementara itu, pola pikir kritis berusaha untuk melihat kesalahan yang terjadi pada sebuah persoalan. Tradisi kritik bagi Tan Malaka adalah sebuah awal untuk menghasilkan sebuah perkembangan dialektis.
Istilah dialektika sendiri memang tidak biasa di lepaskan dari pemikiran Hegel, tetapi di tangan Marx, dialektika mendapatkan focus penting dalam filsafat politik. Di dalam penggerakan social, pertentangan kelas adalah sebuah persoalan yang paling nyata. Baginya sisa filsafat adalah dialektika dan logika. Untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa adalah dengan pendidikan. Tanpa pendidikan yang memadai, bangsa ini akan menjadi bangsa yang lemah. Dalam interaksi dunia faktanya adalah “besar hendak menindih, lemah menjadi makanan bagi yang kuat, dan bodoh adalah makanan bagi yang cerdik”. Menurutnya: “politik dan kecerdasan bangsa asing akan memakai kekuasan Indonesia untuk memastikan belenggu Indonesia seperti ular kobra memeluk mangsanya” (Tan Malaka, 1999:53). Latihan logika akan membuat bangsa Indonesia berkembang, menjadi lebih kuat, dan tidak biasa di jadikan korban bagi bangsa lain.
Untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah Tan Malaka menggusulkan tiga cara  yaitu :
Ø  Ilmu pengetahuan adalah ilmu empiris, sebagai pemikiran yang empiris, maka pemikiran tersebut haruslah tepat, jitu, dan dapat di lihat.
Ø  Ilmu pengetahuan adalah persoalan penyusunan bukti-bukti secara sistematis dan terstruktur. Penyusunan tersebut di lakukan setelah subjek menemukan sejumlah fakta yang memperkuat system gagasannya.
Ø  Ilmu pengetahuan adalah penyederhanaan atas fenomena actual. Penyederhanaan itu di lakukan melalui generalisasi. Baginya, praktik mencerdaskan warga bangsa dilakukan melalui pengetahuan positif yang di awali dari observasi untuk sampai pada penyimpulan yang bersifat generalitiatif. Pengamatan akan menghasilkan bukti dan bukti akan menghasilkan hipotesis. Hubungan masing-masing hipotesis akan membawa pada simpulan yang akurat. Dalam pemikiran positif ia mengutamakan eksperimen. Sebuah pengembangan ilmu pengetahuan, perlu di kembangkan sebuah percobaan untuk mencapai hasil yang akurat. Pengembangan tersebut menggunakan logika sebagai tulang punggung ilmu pengetahuan.
Karena itu, sebuah penyelenggaraan pendidikan haruslah mengasah peserta didik untuk mempertajam nalar empiris. Ketika peserta didik sudah mencapai tahap perkembangan yang memadai maka peserta didik akan mengingat pada hubungan social. Di dalam hubungan social ini terdapat interaksi dialektis. Menurtnya di dasarkan oleh tiga hal :
Ø  Adanya hukum pertarungan secara social untuk melangsungkan kehidupan.
Ø Adanya fakta bahwa untuk melangsungkan kehidupannya, setiap makhluk harus bersedia mnyesuaikan diri.
Ø Seleksi alam. Dalam perkembangannya dorongan untuk melangsungkan hidup dan kemampuan melakukan adaptasi dengan lingkungan, tidak serta merata membuat makhluk hidup akan tetap bertahan.


sumber : Dr. Saifur Rohman, M. Hum, M.Si , Agus Wibowo, M.pd. Filsafat Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar