Epistimologi Pendidikan : Pikiran, Perasaan dan Kemauan
Epistimologi atau teori pengetahuan yang berhubungan dengan
hakikat ilmu pengetahuan, penggadai-penggadaian, dasar-dasarnya serta
pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh
setiap manusia.
Epistimologi
pendidikan dimengerti sebagai cara-cara memindah pengetahuan dari guru
ke peserta didik. Cara-cara itu memanfaatkan metodologi positivis yang saat ini
sedang populer. Gagasan Tan Malaka yang orisinil tentang pengetahuan memberikan
pengaruh yang luat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan secara umum di bidang
politik, ekonomi, dan social budaya masa kini dapat di lihat sebagian dari
cerminan gagasan Tan Malaka. Pendidikan bagi Tan Malaka harus mencakup tiga hal
:
1. Materi
pendidikan merupakan bahan yang berasal dari pikiran
2. Materi
itu harus memiliki dampak dari perasaan.
3. Materi
pendidikan haruslah menghasilkan kemauan (Tan Malaka, 1999:462)
Jadi dasar pendidikan di Indonesia untuk menghasilkan
pengetahuan yang berkualitas mencakup pikiran, perasaan, dan kemauan. Pikiran
adalah segala hal yang terkait dengan kognitif, analitis dan sintesis.
Sementara itu, perasaan terkait dengan segala bentuk nilai, kualitas, hingga
daya kesenian yang mempertajam nilai-nilai kemanusiaan. Sementara itu, kemauan
merupakan bagian dari prilaku yang di perlihatkan oleh peserta didik secra
empiris. Penilaian kemajuan atau keberhasilan dari sebuah pendidikan dalam
konsepsi Madilog haruslah di dasarkan pada data-data yang bersifat empiris
kemudian di tarik di dalam wilayah yang bersifat esensial.
Menurut pemikiran Tan Malaka (1999:91), “materi adalah yang
bias di ungkap dengan pancaindera”. Madilog lanjut Tan Malaka adalah sebuah
cara berfikir. Karena “dari cara orang berfikir, kita dapat duga filsafatnya
dan dari filsafatnya dan dari filsafatnya kita bias tahu dengan cara dan metode
apa dia sampai ke filsafat itu”.
Tan Malaka menyanggah bahwa pemikiran madilog sama dengan
materialism kritis atau materialisme logis. Sebab di dalam pemikian tersebut,
lanjut Tan Malaka, tidak mengahui adanya dialektika. Pemikiran kritis
sebagaimana yang di pahami Tan Malaka adalah pemikiran yang di dasarkan pada
analitis dan fakta-fakta belaka. Sementara itu, sintesis tidak muncul. Sintesis
adalah kata lain dari dialektika.
Murid yang cerdas akan sadar bahwa kalau dia akan sadar
bahwa dia sudah paham satu cara, satu kerja, satu kunci untuk menyelesaikan
segolongan persoalan, maka tidaklah perlu ia menhadap berpuluh-puluh persoalan
atau jawaban pilihan atau ratusan per-soalan, tetpi cukuo ia berpegang pada
cara atau kunci persoalan tadi. (Tan Malaka, 1999:21)
Itulah kenapa, bagi Tan Malaka, sebuah pendidikan yang
bermutu adalah upaya untuk menyadarkan peserta didik agar menggunakan logika
mereka. Pada kenyataannya, sekarang ini, peserta didik masih menggunakan pola
pikir mistik. Pola pikir mistik ini dijadikan sebagai dasar untuk memahami
fakta-fakta yang di sekitar kita. Tan Malaka merujuk pada cerita-cerita mitos
sebagai legitimasi atas fenomena-fenomena actual. Ia mempercayai adanya
kekuatan pikiran manusia menjawab fenomena alam dengan logika dan dialektika.
Karena itu, pendidikan haruslah memberikan pemikiran yang bersifat mistis.
Dia menolak sebuah traisi di dalam matrelisme. Pada sisi
lain, dia juga menggunakan tradisi kritik untuk menolak system pengetahuan yang
di dasarkan pada mitos ia menolak tradisi kritik karena ia berpegangan pada
perkembangan yang bersifat dialektif. Perkembangan dialektis berusaha merangkum
dua hal yang bertentangan. Sementara itu, pola pikir kritis berusaha untuk
melihat kesalahan yang terjadi pada sebuah persoalan. Tradisi kritik bagi Tan
Malaka adalah sebuah awal untuk menghasilkan sebuah perkembangan dialektis.
Istilah dialektika sendiri memang tidak biasa di lepaskan dari
pemikiran Hegel, tetapi di tangan Marx, dialektika mendapatkan focus penting
dalam filsafat politik. Di dalam penggerakan social, pertentangan kelas adalah
sebuah persoalan yang paling nyata. Baginya sisa filsafat adalah dialektika dan
logika. Untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa adalah dengan pendidikan.
Tanpa pendidikan yang memadai, bangsa ini akan menjadi bangsa yang lemah. Dalam
interaksi dunia faktanya adalah “besar hendak menindih, lemah menjadi makanan
bagi yang kuat, dan bodoh adalah makanan bagi yang cerdik”. Menurutnya:
“politik dan kecerdasan bangsa asing akan memakai kekuasan Indonesia untuk
memastikan belenggu Indonesia seperti ular kobra memeluk mangsanya” (Tan
Malaka, 1999:53). Latihan logika akan membuat bangsa Indonesia berkembang,
menjadi lebih kuat, dan tidak biasa di jadikan korban bagi bangsa lain.
Untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah Tan Malaka
menggusulkan tiga cara yaitu :
Ø
Ilmu pengetahuan adalah ilmu empiris, sebagai
pemikiran yang empiris, maka pemikiran tersebut haruslah tepat, jitu, dan dapat
di lihat.
Ø
Ilmu pengetahuan adalah persoalan penyusunan
bukti-bukti secara sistematis dan terstruktur. Penyusunan tersebut di lakukan
setelah subjek menemukan sejumlah fakta yang memperkuat system gagasannya.
Ø
Ilmu pengetahuan adalah penyederhanaan atas
fenomena actual. Penyederhanaan itu di lakukan melalui generalisasi. Baginya,
praktik mencerdaskan warga bangsa dilakukan melalui pengetahuan positif yang di
awali dari observasi untuk sampai pada penyimpulan yang bersifat generalitiatif.
Pengamatan akan menghasilkan bukti dan bukti akan menghasilkan hipotesis.
Hubungan masing-masing hipotesis akan membawa pada simpulan yang akurat. Dalam
pemikiran positif ia mengutamakan eksperimen. Sebuah pengembangan ilmu
pengetahuan, perlu di kembangkan sebuah percobaan untuk mencapai hasil yang
akurat. Pengembangan tersebut menggunakan logika sebagai tulang punggung ilmu
pengetahuan.
Karena itu, sebuah penyelenggaraan pendidikan haruslah
mengasah peserta didik untuk mempertajam nalar empiris. Ketika peserta didik
sudah mencapai tahap perkembangan yang memadai maka peserta didik akan
mengingat pada hubungan social. Di dalam hubungan social ini terdapat interaksi
dialektis. Menurtnya di dasarkan oleh tiga hal :
Ø
Adanya hukum pertarungan secara social untuk
melangsungkan kehidupan.
Ø
Adanya fakta bahwa untuk melangsungkan
kehidupannya, setiap makhluk harus bersedia mnyesuaikan diri.
Ø
Seleksi alam. Dalam perkembangannya dorongan
untuk melangsungkan hidup dan kemampuan melakukan adaptasi dengan lingkungan,
tidak serta merata membuat makhluk hidup akan tetap bertahan.
sumber : Dr. Saifur Rohman, M. Hum, M.Si , Agus Wibowo, M.pd. Filsafat Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar