Mengarahkan pandangan ke arah pembangunan pendidikan
di Indonesia tampaknya membutuhkan keseriusan. Banyak kendala yang menghadang.
Tidak hanya aspek internal, melainkan benturan kebudayaan (clash of
civization), memaksa pemerhati, pakar dan pelaku pendidikan untuk mengkaji
ulang mengenai orientasi sistem pendidikan bangsa. Paradigma pendidikan yang
berkembang di Indonesia lebih bersifat pada silent culture.
Dari sini kemdian timbul pertanyan, apa saja aspek
kehidupan ini? dalam konteks inilah para pemikir dan pengembang pendidikan
mempunyai visi berbeda-beda, perbedaan tersebut tidak bisa lepas dari sistem
politik dan watak sosiokultural yang mengitarinya. Misalnya, secara historis –
sosiologis, Muhaimin memetakan setidak-tidaknya telah muncul beberapa paradigma
pengembangan pendidikan (Islam) sebagai berikut:
1.
Paradigma
Formisme
Di dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang
dengan sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikotomi dan diskrit. Segala
sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, seperti laki-laki dan
perempuan, ada dan tidak ada, madrasah dan non madrasah, pendidikan agama dan
pendidikan umum,dan seterusnya.
Paradigma tersebut pernah terwjud dalam realitas
sejarah pendidikan (islam). Pada periode pertengahan, lembaga pendidikan islam (terutama
madrasah sebagai perguruan tinggi atau al-jamiah)
tidak pernah menjadi universitas yang difungsikan semata-mata untuk
mengembangkan tradisi penyelidikan bebas berdasarkan nalar. Ia banyak diabdika
pada al-ulum al-madinah.
Sementara itu penguasa politik yang memprakasai berdirinya madrasah, mungkin
karna dorongan politik tertentu motivasi
murni menegakkan ortodoksi, sering mendikte madrasah atau al-jamiah untuk
tetap dalam kerangka ortodoksi (kerangka syariah).
2.
Paradigma
Mekanisme
Paradigma mekanisme memandang kehidupan terdiri dari
berbagai aspek dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan
seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut
fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau
elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan
antara satu dengan yang lainnya bisa saling konsultasi atau tidak.
Dalam paradigma ini, pendidikan agama sebagai sumber nilai
lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau demensi efektifnya dari pada
demensi kognitif dan psikomotor, dalam arti demensi kognitif dan psikomotor
diarahkan untuk pembinaan efektif (moral dan spiritual), yang berbeda dangan
mata pelajaran lainnya.
Paradigm organisme merupakan kesatuan atau sebagai system (yang
terdiri atas komponen-komponen yang rumit) yang berusaha mengembangkan
pandangan atau semangat hidup yang di manifestasikan dengan sikap hidup dan
ketrmpilan hidup.Dalam konteks pandangan semacam itu,penting kiranya membangun
kerangka pemikiran yang bersumber pada fundamental doctrins dan fundamental
volues yang tertuang dalam AL-Quran dan As-Sunnah.
Melalui upaya semacam itu, maka sistem pendidikan (islam)
diharapkan dapat mengintegresikan nilai-nilai pengetahuan, nilai-nilai agama dan
etik,serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek), memilik kematangan propresional, dan sekaligus hidup di
dalam nilai-nilai agama (imtag).
Sumber :
Ahmad Tafsir ,
1984, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Cet. Kedua, Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar