Prinsip-prinsip Akal Budi Praktis
Murni
Dalam
buku Immanuel Kant ini berpendapat bahwa prinsip-prinsip praktis adalah proporsisi-proporsisi
yang berisi ketentuan umum, kehendak, yang memiliki beberapa aturan praktis.
Prinsip-prinsip itu bersifat bubjektif, atau merupakan maksim-maksim, ketika
kondisi ini oleh subjek di anggap sahih bagi kehendaknya sendiri. Prinsip-prinsip
itu bersifat objektif, atau merupakan hukum praktis, ketika kondisi tersebut
oleh subjek diketahui objektif, yakni sahih untuk kehendak setiap makhluk
rasional.
Uraian
Aturan
praktis selalu merupakan produk dari akal budi, karna ia menentukan aksi
sebagai sebuah alat bagi akibat yang menjadi tujuannya. Tetapi aturan ini
adalah sebuah imperative bagi makhluk yang akal budinya bukan satu-satu
determinan bagi kehendak. Aturan inilah yang dicirikan dengan “keharusan”, yang
mengekspresikan pengharusan objektif atas aksi dan menunjukkan bahwa, jika akal
budi sepenuhnya menentukan kehendak, aksi akan, tanpa kecuali, terjadi sesuai
dengan aturan tersebut.
Oleh
karena itu, imperative secara objektif sahih dan sangat berbeda dari maksim,
yang merupakan prinsip subjektif. Imperative menentukan kondisi kausalitas
suatu makhluk rasional sebagai sebab efisien hanya dalam kaitan dengan akibat
(tujuan) dan kecukupannya untuk menimbulkan akibat ini atau imperative hanya
menentukan kehendak, apakah kehendak in mencukupi timbulnya akibat atau tidak.
Jika menentukan kondisi kausalitas, imperative akan menjadi hipotesis dan hanya
bisikan perintah kecakapan; sebaliknya, jika hanya menentukan kehendak,
imperative akan menjadi kategoris dan hukum praktis. Maka, maksim-maksim
sebenarnya adalah prinsip, tetapi mereka bukan imperative.
Tetapi,
imperative itu sendiri, ketika bersyarat, yakni ketika mereka
menentukankehendak bukan semata-mata demikian tetapi demi sebuah akibat yang
diinginkan, menjadi imperative hipotesis, yaitu perintah praktis tapi bukan
hukum. Hukum pasti sepenuhnya menentukan kehendak sebagai hasrat. Maka, hukum
pasti menjadi kategoris; sebaliknya hukum tidak akan menjadi hukum jika tidak
mempunyai kepastian yang, untuk menjadi praktis, harus sepenuhnya independen
terhadap kodisi-kondisi patologis, yakni kondisi-kondisi yang hanya bergantung
pada kehendak.
Misalnya,
katakana kepada seseorang bahwa pada masa mudanya dia harus bekerja dan
menabung bukan demi kebutuhan pada masa tuanya ini merupakan sebuah perintah
praktis yang tepat dan penting dari kehendak.
Akal
Budi, yang dapat menurunkan sebuah aturan mengenai kepastian, memberi kepastian
pada perintah ini, yang tanpanya kepastian itu tidak akan menjadi imperative;
tetapi kepastian itu bergantung hanya pada kondisi subjektif, dan orang tidak
dapat menggangapnya memiliki ukuran yang sama pada semua manusia. Namun, jika
akal budi bersifat legislative, ia niscahya mensyaratkan hanya dirinya, karena
aturan secara objektif dan universal sahih hanya ketika tetap bertahan tanpa
kondisi-kondisi subjektif kontingen apapun yang membedakan makhluk rasional
dari makhluk lainnya.
Sekarang,
katakana kepada seseorang bahwa dia tidak boleh membuat janji bohong; ini
hanyalah sebuah aturan yang hanya berurusan kehendaknya terlepas dari apakah
tujuan-tujuannya dapat dicapai dengan kehendaknya atau tidak. Kehendak ini
sepenuhnya di tentukan secara a priori oleh aturan tersebut. Jika kemudian diketahui
bahwa aturan ini benar secara praktis, ia merupakan sebuah hukum, karena ia
menjadi sebuah imperative kategoris. Maka, hukun praktis mengacu pada kehendak,
terlepas dari yang diperoleh dengan kausalitasnya, dan orang tersebut dapat
menafikan kausalitasnya (selama berkaitan dengan dunia indriawi) untu
memperoleh hukum-hukum yang murni.
Theorema
Semua
prinsip praktis yang mensyaratkan sebuah objek (material) dari hasrat sebagai
dasar penentu kehendak pasti bersifat empirs tanpa kecuali, dan tidak dapat
memberi hukum-hukum praktis.
“objek
material dari hasrat” adalah sebuah objek yang realitasnya di inginkan. Ketika
hasrat terhadap objek ini mendahului aturan praktis dan merupakan syarat yang
dengannya aturan praktis menjadi sebuah prinsip yang Immanuel katakana, pertama, prinsip itu bersifat empiris.
Sebab, dasar penentu bagi pilihan berisikan konsepsi tentang sebuah objek dan
hubungannya dengan subjek, yang dengan hasrat dituntut untuk merealisasikan
pilihan itu. Hubungan semacam ini dengan subjek disebut kesenangan dalam
realitas sebuah objek, dan ia harus di pandang sebagai syarat bagi kemungkinan
determinasi pilihan.
Kedua,
sebuah prinsip yang di dasarkan hanya pada kerentanan subjektif terhadap
kesenangan atau ketidaksenangan (yang tidak pernah di ketahui kecuali secara
empiris dan tidak mungkin sahih dalam bentuk yang sama bagi semua makhluk
rasional) tidak dapat berperan sebagai hukum sekalipun untk sebjek yang
memiliki kerentanan tersebut. Sebab, prinsip itu tidak mempunyai kepastian
objektif, yang harus di ketahui secara a priori. Dengan alas an ini, prinsip
semacam itu tidak pernah dapat menjadi hukum praktis. Namun, ia dapat di
letakkan diantara maksim-maksim sebuah objek yang rentan.
Theorema
II
Semua
prinsip material adalah satu dan jenis yang sama, dan merupakan prisip umum
tentang cinta idri atau kebahagiaan seseorang.
Kesenangan
dari konsepsi tentang eksistensi sebuah benda, selama konsepsi ini menjadi
dasar penentu bagi hasrat akan benda tersebut, didasarkan pada kerentanan
subjek, karena kesenangan ini bergantung pada kehadiran actual sebuah objek.
Kesadaran makhluk rasional atas kesetujuan hidup
yang, tanpa jeda, menyertai keseluruhan eksistensinya adalah kebahagiaan, dan
menentukan dasar terpenting bagi determinasi pilihan adalah prinsip cinta-diri.
Maka, semua prinsip material, yang menetapkan bahwa dasar penentu bagi pilihan
dalam kesenangan atau ketidakseimbangan berasal dari realitas objek apapun,
salah satu jenis. Tanpa kecuali, prinsip-prinsip material ini termasuk dalam
prinsip cinta-diri atau kebahagiaan seseorang.sumber : Immanuel Kant 2005. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar