Rabu, 21 Desember 2016

prinsip-prinsip Akal Budi Praktis Murni



Prinsip-prinsip Akal Budi Praktis Murni
Dalam buku Immanuel Kant ini berpendapat bahwa prinsip-prinsip praktis adalah proporsisi-proporsisi yang berisi ketentuan umum, kehendak, yang memiliki beberapa aturan praktis. Prinsip-prinsip itu bersifat bubjektif, atau merupakan maksim-maksim, ketika kondisi ini oleh subjek di anggap sahih bagi kehendaknya sendiri. Prinsip-prinsip itu bersifat objektif, atau merupakan hukum praktis, ketika kondisi tersebut oleh subjek diketahui objektif, yakni sahih untuk kehendak setiap makhluk rasional.
Uraian
Aturan praktis selalu merupakan produk dari akal budi, karna ia menentukan aksi sebagai sebuah alat bagi akibat yang menjadi tujuannya. Tetapi aturan ini adalah sebuah imperative bagi makhluk yang akal budinya bukan satu-satu determinan bagi kehendak. Aturan inilah yang dicirikan dengan “keharusan”, yang mengekspresikan pengharusan objektif atas aksi dan menunjukkan bahwa, jika akal budi sepenuhnya menentukan kehendak, aksi akan, tanpa kecuali, terjadi sesuai dengan aturan tersebut.
Oleh karena itu, imperative secara objektif sahih dan sangat berbeda dari maksim, yang merupakan prinsip subjektif. Imperative menentukan kondisi kausalitas suatu makhluk rasional sebagai sebab efisien hanya dalam kaitan dengan akibat (tujuan) dan kecukupannya untuk menimbulkan akibat ini atau imperative hanya menentukan kehendak, apakah kehendak in mencukupi timbulnya akibat atau tidak. Jika menentukan kondisi kausalitas, imperative akan menjadi hipotesis dan hanya bisikan perintah kecakapan; sebaliknya, jika hanya menentukan kehendak, imperative akan menjadi kategoris dan hukum praktis. Maka, maksim-maksim sebenarnya adalah prinsip, tetapi mereka bukan imperative.
Tetapi, imperative itu sendiri, ketika bersyarat, yakni ketika mereka menentukankehendak bukan semata-mata demikian tetapi demi sebuah akibat yang diinginkan, menjadi imperative hipotesis, yaitu perintah praktis tapi bukan hukum. Hukum pasti sepenuhnya menentukan kehendak sebagai hasrat. Maka, hukum pasti menjadi kategoris; sebaliknya hukum tidak akan menjadi hukum jika tidak mempunyai kepastian yang, untuk menjadi praktis, harus sepenuhnya independen terhadap kodisi-kondisi patologis, yakni kondisi-kondisi yang hanya bergantung pada kehendak.
Misalnya, katakana kepada seseorang bahwa pada masa mudanya dia harus bekerja dan menabung bukan demi kebutuhan pada masa tuanya ini merupakan sebuah perintah praktis yang tepat dan penting dari kehendak.
Akal Budi, yang dapat menurunkan sebuah aturan mengenai kepastian, memberi kepastian pada perintah ini, yang tanpanya kepastian itu tidak akan menjadi imperative; tetapi kepastian itu bergantung hanya pada kondisi subjektif, dan orang tidak dapat menggangapnya memiliki ukuran yang sama pada semua manusia. Namun, jika akal budi bersifat legislative, ia niscahya mensyaratkan hanya dirinya, karena aturan secara objektif dan universal sahih hanya ketika tetap bertahan tanpa kondisi-kondisi subjektif kontingen apapun yang membedakan makhluk rasional dari makhluk lainnya.
Sekarang, katakana kepada seseorang bahwa dia tidak boleh membuat janji bohong; ini hanyalah sebuah aturan yang hanya berurusan kehendaknya terlepas dari apakah tujuan-tujuannya dapat dicapai dengan kehendaknya atau tidak. Kehendak ini sepenuhnya di tentukan secara a priori  oleh aturan tersebut. Jika kemudian diketahui bahwa aturan ini benar secara praktis, ia merupakan sebuah hukum, karena ia menjadi sebuah imperative kategoris. Maka, hukun praktis mengacu pada kehendak, terlepas dari yang diperoleh dengan kausalitasnya, dan orang tersebut dapat menafikan kausalitasnya (selama berkaitan dengan dunia indriawi) untu memperoleh hukum-hukum yang murni.
Theorema
Semua prinsip praktis yang mensyaratkan sebuah objek (material) dari hasrat sebagai dasar penentu kehendak pasti bersifat empirs tanpa kecuali, dan tidak dapat memberi hukum-hukum praktis.
“objek material dari hasrat” adalah sebuah objek yang realitasnya di inginkan. Ketika hasrat terhadap objek ini mendahului aturan praktis dan merupakan syarat yang dengannya aturan praktis menjadi sebuah prinsip yang Immanuel katakana, pertama, prinsip itu bersifat empiris. Sebab, dasar penentu bagi pilihan berisikan konsepsi tentang sebuah objek dan hubungannya dengan subjek, yang dengan hasrat dituntut untuk merealisasikan pilihan itu. Hubungan semacam ini dengan subjek disebut kesenangan dalam realitas sebuah objek, dan ia harus di pandang sebagai syarat bagi kemungkinan determinasi pilihan.  
Kedua, sebuah prinsip yang di dasarkan hanya pada kerentanan subjektif terhadap kesenangan atau ketidaksenangan (yang tidak pernah di ketahui kecuali secara empiris dan tidak mungkin sahih dalam bentuk yang sama bagi semua makhluk rasional) tidak dapat berperan sebagai hukum sekalipun untk sebjek yang memiliki kerentanan tersebut. Sebab, prinsip itu tidak mempunyai kepastian objektif, yang harus di ketahui secara a priori. Dengan alas an ini, prinsip semacam itu tidak pernah dapat menjadi hukum praktis. Namun, ia dapat di letakkan diantara maksim-maksim sebuah objek yang rentan.





Theorema II
Semua prinsip material adalah satu dan jenis yang sama, dan merupakan prisip umum tentang cinta idri atau kebahagiaan seseorang.
Kesenangan dari konsepsi tentang eksistensi sebuah benda, selama konsepsi ini menjadi dasar penentu bagi hasrat akan benda tersebut, didasarkan pada kerentanan subjek, karena kesenangan ini bergantung pada kehadiran actual sebuah objek.
Kesadaran makhluk rasional atas kesetujuan hidup yang, tanpa jeda, menyertai keseluruhan eksistensinya adalah kebahagiaan, dan menentukan dasar terpenting bagi determinasi pilihan adalah prinsip cinta-diri. Maka, semua prinsip material, yang menetapkan bahwa dasar penentu bagi pilihan dalam kesenangan atau ketidakseimbangan berasal dari realitas objek apapun, salah satu jenis. Tanpa kecuali, prinsip-prinsip material ini termasuk dalam prinsip cinta-diri atau kebahagiaan seseorang.




sumber : Immanuel Kant 2005. Yogyakarta:  Pustaka Pelajar 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar