Dalam Bab I
dikemukakan bahwa berpikir secara filsafat salah satunya: sinoptif, yaitu
berpikir secara menyeluruh dan bersama-sama. Artinya, berpikir menyeluruh sama
dengan berpikir secara komprehensif.
Misalnya,
apabila kita menghadapi masalah seperti "kenakalan anak". Kenakalan
anak akan terns menjadi masalah sepanjang masa khususnya para orang tua. Untuk
menanggulangi kenakalan anak, maka masalah tersebut harus dilihat secara
filsafat, yaitu kenakalan anak harus dilihat dari semua aspek ilmu yang
terkait.
Misalnya,
kenakalan anak dilihat dari sudut ilmu agama, ilmu ekonomi, ilmu
jiwa/psikologi, sosiologi, dan lain-lain. Menurut ilmu ekonomi, kenakalan anak
disebabkan oleh faktor ekonomi, biasanya kenakalan berasal dari anak-anak yang
tingkat ekonominya rendah. Jarang kita temui anak-anak dari orang kaya yang
nakal, mungkin pola kenakalannya berbeda.
Menurut ilmu
agama, kenakalan anak lebih disebabkan karena faktor keberagamaan kurang,
antara kehidupan lahir dan batin tidak seimbang, sehingga tidak mampu
membedakan antara teman yang baik clan buruk kemudian terpengaruh lingkungan
buruk.
Menurut ilmu
jiwa, kenakalan anak dianggapnya 'lumrah' asal tidak merusak
(destruktio, karena anak yang nakal (konstruktio sebetulnya anak yang
semangat, kreatif dan energik, dan sebagainya. Jadi, cara berpikir filsafat itu
adalah berpikir kritis, analisis, clan dilihat dari berbagai aspek. Begitu juga
kenakalan orang tua juga harus dilihat dari berbagai aspek. Kenakalan orang tua
seperti: perselingkuhan, korupsi, emosional, dan lain-lain.
Bagaimana cara
filsafat menghadapi hal-hal yang mistis dan gaib. Dalam kehidupan sehari-hari
kita sering dihadapkan pada hal-hal yang mistis, gaib, atau di luar jangkauan
akal, maka dalam filsafat pun dikenal dengan metafisika. Bagi orang yang
mempelajari metafisika, menghadapi hal-hal yang mistis dan gaib tidak masalah.
Sebab, dalam dunia mistis dan gaib memiliki ruang dan penalaran tersendiri.
Berpikir secara
filsafat tidak hanya berpikir secara komprehensif, rasional, konsepsional saja,
tetapi inter disipliner. Di era global saat ini pemikiran dituntut untuk lebih
lugs dan satu sama lain saling terkait. Misal, keadaan pasar modal di New York
akan berpengaruh (positif/negati) pada pasar modal seluruh dunia. Penegakan
hukum Indonesia akan memengaruhi investasi asing di Indonesia.
Berpikir secara
inter disipliner adalah berpikir dengan menggunakan ilmu-ilmu terkait yang
dapat mendukung solusi suatu permasalahan. Misalnya, untuk membangun anak
berkualitas diperlukan pandangan dari berbagai ilmu, seperti: ilmu pendidikan,
ilmu agama, ilmu gizi, ilmu sosial, dan lain-lain.
Ilmu pendidikan
diperlukan untuk mengarahkan dan membimbing anak dalam mencerdaskan
intelektualnya/IQ Ilmu agama diperlukan untuk membangun anak dalam mencerdaskan
emosi/EQ Ilmu gizi diperlukan untuk membangun anak agar memiliki kemampuan
berpikir lebih (IQ tinggi) yaitu dengan memberikan asupan makanan sesuai
kualitas dan kuantitas gizi yang diperlukan. Ilmu sosial diperlukan untuk
memberikan lingkungan sosial yang edukatif, karena memilih lingkungan sosial
harus selektif dan mendidik/edukatif.
Jadi,
aktualisasi filsafat sebagai cara berpikir adalah kemampuan berpikir sendiri,
mampu melihat mana yang negatif dan yang positif dan mampu membedakan mana yang
baik dan yang buruk.
Sumber :
Brouwer. et. al. 1986. Sejarah Filsafat Modern dan Sezamannya. Alumni. Bandung.
Brouwer. et. al. 1986. Sejarah Filsafat Modern dan Sezamannya. Alumni. Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar