Pemikiran
Immanuel Kant Tentang Agama dan Tuhan.
Meskipun Kant lebih dikenal
sebagai filsuf yang berkecimpung dalam bidang epistemologi dan etika, tetapi
kajian tentang Tuhan pun tak luput dari penelaahannya. Dalam bidang keagamaan
atau Teologi, Kant menolak bukti-bukti “onto-teologis” adanya Tuhan. Artinya,
menurutnya, Tuhan itu, statusnya bukan “objek” inderawi, melainkan a priori
yang terletak pada lapisan ketiga (budi tertinggi) dan berupa “postulat” (Asumsi yg menjadi pangkal dalil yg dianggap benar tanpa
perlu membuktikannya; anggapan dasar).
Immanuel
Kant berargumentasi bahwa konsep
seseorang tentang Tuhan harus berasal dari penalaran; oleh karena itu, ia
menyerang bukti-bukti tentang keberadaan Tuhan, dengan menyangkali
keabsahannya. Kant berpendapat bahwa tidak dapat ada terpisah pengalaman yang
dapat dibuktikan melalui pengujian. Dalam hal ini, Kant mengkombinasikan
rasionalisme (kebertumpuan pada penalaran manusia) dan empirisme (pembuktian
sesuatu berdasar metode ilmiah).
Bagi
Kant, Tuhan bukanlah soal teoretis, melainkan soal praktis, soal moral, soal
totalitas pengalaman, dan arti atau makna hidup terdalam (ini dampak
positifnya). Dampak negatifnya adalah bahwa sebagai “postulat’ (penjamin)
moralitas, Tuhan adalah konsekuensi moralitas, maka moralitas merupakan dasar
keberadaan Tuhan. Karena itu, muncul tendensi pada Kant untuk meletakkan agama
hanya pada tataran moralitas semata atau perkara horizontal saja (hubungan
antar manusia saja atau soal perilaku di dunia ini saja). Konsekuensinya,
agamanya Kant, tidak memerlukan credo (kepercayaan).
Kant
menyatakan bahwa memang Tuhan hanya bisa didekati melalui iman dan iman itu
dilandasi oleh hukum moral. Hukum moral mewajibkan kita untuk selalu melakukan
kebaikan. Tetapi hukum moral ini mensyaratkan tiga hal utama, yaitu: kebebasan,
keabadian jiwa, dan keberadaan tuhan.
Pertama,
kewajiban tentu mengandaikan kebebasan. Kita bebas untuk tidak menjalankan
hukum moral untuk melakukan kebaikan. Maka kemudian hukum moral menjadi wajib.
Kebaikan menjadi wajib dilakukan. Apabila tidak ada kebebasan maka tidak akan
ada kewajiban. Karena manusia bebas untuk melakukan atau tidak melakukan
kebaikan maka kemudian muncul kewajiban untuk melakukan kebaikan.
Kedua, adalah
keabadian jiwa. Hukum moral bertujuan untuk mencapai kebaikan tertinggi.
Kebaikan tertinggi ini mengandung elemen keutamaan dan kebahagiaan. Orang
dinyatakan memiliki keutamaan apabila perbuatannya sesuai dengan hukum moral.
Dari keutamaan inilah kemudian muncul kebahagiaan.
Tetapi
menurut Kant, manusia itu tidak akan selalu mencapai kondisi keutamaan. Tidak
akan pernah manusia mencapai kesesuaian kehendak dengan hukum moral. Karena
apabila manusia bisa mencapai kesesuaian ini tanpa putus maka itu adalah
kesucian dan tidak ada manusia yang akan pernah mencapai kesucian mutlak.
Manusia hanya akan selalu berusaha untuk mencapai kesucian itu, dan itu adalah
perjuangan tanpa akhir. Karena egoisme dan sifat dasar manusia lainnya, maka
perjuangan mencapai kesucian itu adalah perjuangan tanpa akhir. Oleh sebab itu,
keutamaan yang menjadi elemen kebaikan tertinggi yang menurpakan tujuan akhir
dari hukum moral tidak akan pernah bisa direalisasikan selama manusia hidup.
Dengan kata lain kondisi ideal dimana terjadi kesesuaian antara kehendak dan
hukum moral adalah jika manusia sudah tidak memiliki kehendak (mati), tetapi
apabila setelah mati tidak ada kehidupan maka kondisi ideal itu juga tidak akan
tercapai. Oleh sebab itu, maka hukum moral mengandaikan bahwa jiwa itu abadi.
Bahkan setelah raga ini mati jiwa akan selalu abadi untuk mencapai kondisi
ideal berupa kebaikan tertinggi.
Ketiga, adalah
keberadaan tuhan. Telah dijelaskan bahwa kebaikan tertinggi memiliki elemen
keutamaan dan kebahagaiaan. Keutamaan adalah kesesuaian antara kehendak dengan
hukum moral dan dari keutamaan inilah muncul kebahagiaan. Kebahagiaan sendiri
adalah kondisi di mana realitas manusia sesuai dengan keinginan dan
kehendaknya. Tapi hal itu tidaklah mungkin karena manusia bukan yang maha pengatur
yang bisa mengharmoniskan dunia fisik sesuai dengan kehendak dan keinginannya.
Tapi justru itulah yang diandaikan apabila kita memiliki keutamaan. Kebahagiaan
diandaikan sebagai sintesis dari dunia fisik, kehendak, dan keinginan. Realitas
inilah yang kemudian disebut tuhan. Tuhan adalah penyebab tertinggi alam sejauh
alam itu diandaikan untuk kebaikan tertinggi atau tuhan adalah pencipta alam
fisik yang sesuai dengan kehendak dan keinginan-Nya.
Apabila
kita bertindak sesuai hukum moral maka akan membawa kita pada keutamaan dan
keutamaan akan membawa kita pada kebahagiaan dan kebahagiaan adalah kondisi di
mana terdapat kesesuaian antara alam fisik dengan kehendak dan keinginan. Dan
yang memiliki kesesuaian ketiga elemen ini adalah Tuhan. Maka, dengan berbuat
baik kita akan sampai pada realitas keberadaan Tuhan. Artinya hukum moral
mengandaikan keberadaan Tuhan.
Jika
tiga syarat (kebebasan, keabadian jiwa, dan keberadaan tuhan) ini tidak
diandaikan keberadaanya, maka runtuhlah sistem moral. Padalah sistem moral itu
selalu ada. Kebaikan selalu ada dan manusia selalu mencoba mewujudkan kebaikan
tersebut.
Sumber:
Sitorus, Fitzgerald K. (2007). Immanuel Kant: Tuhan sebagai Postulat Akal Budi Praktis. Paper Diskusi Tuhan dan Agama di Mata Para Filsuf. PSIK Universitas Paramadina.
Sitorus, Fitzgerald K. (2007). Immanuel Kant: Tuhan sebagai Postulat Akal Budi Praktis. Paper Diskusi Tuhan dan Agama di Mata Para Filsuf. PSIK Universitas Paramadina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar