DOMINASI FILSAFAT NEOREALISME DAN LAHIRNYA METODE ANALISA
BAHASA
Pada awal
abad ke-20 an iklim filsafat di Inggris mulai berubah. Filsafat neoidealisme-neohegelianisme
ini akhirnya tidak dapat bertahan
lama di Inggris. Pengaruhnya diambil alih oleh suatu reaksi baru, yaitu gerakan
neorealisme. Para ahli fikir di Inggris
menilai ungkapan filsafat Idealisme bukan saja sulit difahami, tetapi
juga telah menyimpang jauh dari akal sehat.
Sebagai reaksi menentang filsafat Idealisme, maka terjadilah suatu
revolusi yang digagas oleh ahli fikir Inggris yaitu George Edward
Moore (1873-1958), Alfred North Whitehead (1861-1947), dan Samuel Alexander
(1859-1938). Ketiga filosof ini merupakan generasi pertama tokoh-tokoh neorealisme.
Setelah itu menyusul tokoh-tokoh seperti Bertrand Russel (1872-1972), dan
beberapa intelektual dari lingkungan akademisi Wina seperti Ludwig Wittgenstein
(1889), dan Alfred Yules Ayer (1910). Melalui filusuf inilah lahir metode filsafat
yang baru yaitu metode analisa bahasa.
Tokoh pertama yang melancarkan kritikan pedas terhadap neohegelianisme
adalah George Edward Moore (1873-1958), seorang guru besar filsafat dan ahli
filologi dari Universitas Cambridge.
Dalam karyanya A Defense Of Common Sense (1924), Moore mengatakan bahwa
terjadi sebagian besar pertentangan antara sekian banyak filosof dengan akal
sehat. Manakala seorang filosof berbenturan dengan akal sehat maka ia
mempertahankan diri dengan jalan melarikan diri kedalam dunia gelap. Padahal,
kata Moore, Akal sehat lebih dipercaya dari pada filsafat gelap.
Bagi Moore, tugas filsafat yang sebenarnya bukanlah menjelaskan
atau menafsirkan (Baca; Interpretasi) tentang pengalaman kita, melainkan
memberikan penjelasan terhadap suatu konsep yang siap untuk diketahui melalui
kegiatan analisis bahasa berdasarkan akal sehat.
Dan yang paling penting adalah mengkalimatkan pertanyaan-pertanyaan dengan
jelas dan tepat. Hal ini karena banyak persoalan-persoalan filsafat yang belum
bisa diturunkan dalam bentuk kalimat yang tepat dan sempurna, sehingga dapat
menjawab persoalan-persoalan yang sebenarnya.
Metode
analisa bahasa yang ditampilkan oleh Wittgenstein berhasil membentuk pola
pemikiran baru dalam dunia filsafat. Dengan metode analisa bahasa itu, tugas
filsafat bukanlah membuat pernyataan tentang sesuatu yang khusus (seperti yang
dibuat oleh para filsuf sebelumnya), melinkan memecahkan persoalan yang timbul
akibat ketidakfahaman terhadap bahasa logika. Ini berarti analisa bahasa melulu
bersifat kritik terhadap bahasa (Critical Of Language) yang dipergunakan
dalam filsafat. Metode analisa bahasa ini telah telah membawa “Angin
segar” ke dalam dunia filsafat (terutama
di Inggris), karena kebanyakan orang menganggap bahasa filsafat terlalu
berlebihan dalam mengungkapkan realitas.
Meskipun
dalam perkembangan selanjutnya para filsuf analitik menerapkan tekhnik analisa
bahasa yang berbeda satu dengan yang lain serta menentukan kriteria yang
berlainan tentang istilah atau ungkapan yang bermakna dengan yang tidak
bermakna, namun ciri khas filsafat analitik itu sendiri mengandung nafas yang
sama yaitu melalui kritik terhadap pemakaian bahasa dalam filsafat. Oleh karena
itu, kebanyakan ahli filsafat menganggap kehadiran metode analisa bahasa ini
dalam kancah filsafat, tidak hanya merupakan reaksi terhadap metode filsafat
sebelumnya, akan tetapi juga menandai kelahairan atau munculnya suatu metode
berfilsafat yang baru yang bercorak “ Logosentrisme”,
dan pada gilirannya metode analisa bahasa ini tidak hanya di kenal di Inggris,
akan tetapi dalam waktu belakangan ini juga telah menyebar luas di berbagai
Negara. Dalam masa sekarang ini, metode analisa bahasa telah menduduki tempat
yang setara dengan metode filsafat lainnya.Sumber :
Subuki, Makyun, Semantik (Pengantar memahami makna bahasa), Jakarta : Trans Pustaka (2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar