Kamis, 22 Desember 2016

DOMINASI FILSAFAT NEOREALISME DAN LAHIRNYA METODE ANALISA BAHASA

DOMINASI FILSAFAT NEOREALISME DAN LAHIRNYA METODE ANALISA BAHASA
Pada awal abad ke-20 an iklim filsafat di Inggris mulai berubah. Filsafat neoidealisme-neohegelianisme  ini akhirnya tidak dapat bertahan lama di Inggris. Pengaruhnya diambil alih oleh suatu reaksi baru, yaitu gerakan neorealisme. Para ahli fikir di Inggris menilai ungkapan filsafat Idealisme bukan saja sulit difahami, tetapi juga telah menyimpang jauh dari akal sehat. Sebagai reaksi menentang filsafat Idealisme, maka terjadilah suatu revolusi yang digagas oleh ahli fikir Inggris yaitu George Edward Moore (1873-1958), Alfred North Whitehead (1861-1947), dan Samuel Alexander (1859-1938). Ketiga filosof ini merupakan generasi pertama tokoh-tokoh neorealisme. Setelah itu menyusul tokoh-tokoh seperti Bertrand Russel (1872-1972), dan beberapa intelektual dari lingkungan akademisi Wina seperti Ludwig Wittgenstein (1889), dan Alfred Yules Ayer (1910).  Melalui filusuf inilah lahir metode filsafat yang baru yaitu metode analisa bahasa.
Tokoh pertama yang melancarkan kritikan pedas terhadap neohegelianisme adalah George Edward Moore (1873-1958), seorang guru besar filsafat dan ahli filologi dari Universitas Cambridge. Dalam karyanya A Defense Of Common Sense (1924), Moore mengatakan bahwa terjadi sebagian besar pertentangan antara sekian banyak filosof dengan akal sehat. Manakala seorang filosof berbenturan dengan akal sehat maka ia mempertahankan diri dengan jalan melarikan diri kedalam dunia gelap. Padahal, kata Moore, Akal sehat lebih dipercaya dari pada filsafat gelap.
Bagi Moore, tugas filsafat yang sebenarnya bukanlah menjelaskan atau menafsirkan (Baca; Interpretasi) tentang pengalaman kita, melainkan memberikan penjelasan terhadap suatu konsep yang siap untuk diketahui melalui kegiatan analisis bahasa berdasarkan akal sehat. Dan yang paling penting adalah mengkalimatkan pertanyaan-pertanyaan dengan jelas dan tepat. Hal ini karena banyak persoalan-persoalan filsafat yang belum bisa diturunkan dalam bentuk kalimat yang tepat dan sempurna, sehingga dapat menjawab persoalan-persoalan yang sebenarnya.
Metode analisa bahasa yang ditampilkan oleh Wittgenstein berhasil membentuk pola pemikiran baru dalam dunia filsafat. Dengan metode analisa bahasa itu, tugas filsafat bukanlah membuat pernyataan tentang sesuatu yang khusus (seperti yang dibuat oleh para filsuf sebelumnya), melinkan memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidakfahaman terhadap bahasa logika. Ini berarti analisa bahasa melulu bersifat kritik terhadap bahasa (Critical Of Language) yang dipergunakan dalam filsafat. Metode analisa bahasa ini telah telah membawa “Angin segar”  ke dalam dunia filsafat (terutama di Inggris), karena kebanyakan orang menganggap bahasa filsafat terlalu berlebihan dalam mengungkapkan realitas.
Meskipun dalam perkembangan selanjutnya para filsuf analitik menerapkan tekhnik analisa bahasa yang berbeda satu dengan yang lain serta menentukan kriteria yang berlainan tentang istilah atau ungkapan yang bermakna dengan yang tidak bermakna, namun ciri khas filsafat analitik itu sendiri mengandung nafas yang sama yaitu melalui kritik terhadap pemakaian bahasa dalam filsafat. Oleh karena itu, kebanyakan ahli filsafat menganggap kehadiran metode analisa bahasa ini dalam kancah filsafat, tidak hanya merupakan reaksi terhadap metode filsafat sebelumnya, akan tetapi juga menandai kelahairan atau munculnya suatu metode berfilsafat yang baru yang bercorak “ Logosentrisme”, dan pada gilirannya metode analisa bahasa ini tidak hanya di kenal di Inggris, akan tetapi dalam waktu belakangan ini juga telah menyebar luas di berbagai Negara. Dalam masa sekarang ini, metode analisa bahasa telah menduduki tempat yang setara dengan metode filsafat lainnya.


Sumber : 
Subuki, Makyun,  Semantik (Pengantar memahami makna bahasa), Jakarta : Trans Pustaka (2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar