Kamis, 22 Desember 2016

INDEX TUGAS BLOG FILSAFAT INA FITRIA 2290150024 PENDIDIKAN SOSIOLOGI

DAFTAR ISI

1. pengertian epistimologi pendidikan 

2. prinsip-prinsip Akal Budi Praktis Murni

3.  pengertian pengganguran

4.  cara menangani pengangguran 

5. Filsafat Politinus

6.  Pengertian dasar-dasar filsafat 

7.  Ruang lingkup Filsafat Ilmu 

8.  Problem-Problem Filsafat Ilmu 

9.  Ontologi 

10. Aksiologi 

11. Poskolonialisme 

12. Definisi Hakekat Pendidikan

13. Tujuan, Jenis dan Manfaat Pendidikan

14. Pendidikan yang Bermanfaat 

15. Faktor-faktor dalam Pendidikan 

16. Ideologi Pendidikan

17. Paradigma Pendidikan Islam di Indonesia 

18. Pengertian Revolusi Mental

19. Prespektif Islam tentang Pendidikan dan Kapitalisme

20. Rasionalisme 

21. Timbulnya pemikiran Rasionalisme 

22. Pola pikir Rasionalisme

23. Ciri Filsafat Descartes

24. Tokoh- Tokoh Rasionalisme  

25. Empirisme

26. Dampak rasionalisme dan Empirisme terhadap pengetahuan

27. Pendekatan Individualistik

28. Penerapan Filsafat Pendidikan

29. Hubungan Filsafat dan Pendidikan

30. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan

31. Definisi Filsafat dan Bahasa

32. Hubungan Bahasa dengan Filsafat

33. Fungsi Filsafat terhadap Bahasa

34. Obyek Filsafat Bahasa

35. PEMBELAJARAN BAHASA MENURUT KOGNITIFISME

36. Manfaat Mempelajari Filsafat

37. Pemikiran Immanuel Kant

38. Kant Dalam Rasionalisme, Empirisme, dan Idealismenya

39. Kritik atas Rasio Murni

40. Pengaruh Pemikiran Kant Pada Filsafat dan Modernisme

41. Pemikiran Immanuel Kant Tentang Agama dan Tuhan

42. Pandangan Imamuel Kant tantang Manusia

43. PEMIKIRAN KRITISISME IMMANUEL KANT

44. PENGERTIAN FENOMENOLOGI

45. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN FILSAFAT FENOMENOLOGI

46. KONTRIBUSI FENOMENOLOGI TERHADAP DUNIA ILMU PENGETAHUAN

47. Latar Belakang Munculnya Filsafat Modern

48. Macam-macam Aliran Pemikiran dalam Filsafat Modern dan Tokoh-tokoh

49. FILSAFAT HIDUP

50. Sejarah Filsafat Yunani 

51. Faktor-faktor lahirnya Filsafat Yunani

52. Filsuf-Filsuf tentang Alam

53. Filsuf-Filsuf Yunani Klasik

54. Aktualisasi Filsafat Sebelum Ilmu

55. Aktualisasi Filsafat Sebagai Cara Berpikir

56. Aktualisasi Filsafat Sebagai Pandangan Hidup

57. Aktualisasi Filsafat Sebagai Pemikiran yang Reflektif

58. Filosofi Tubuh Manusia

59. filsafat kekaisaran

60. Pandangan Eksistensialisme tentang Pendidikan 

61. Filsafat Komunikasi

62. Faktor yang mempengaruhi timbulnya permasalahan dalam pendidikan 

63. cara mempelajari filsafat

64. Prinsip Prinsip Filsafat Pancasila

65. Tokoh-tokoh Filsafat Islam dan Pemikirannya 

66. SEJARAH FILSAFAT & PERIODISASI PEMIKIRAN FILSAFAT

67. DOMINASI FILSAFAT NEOIDEALISME - NEOHEGELIANISME

68. DOMINASI FILSAFAT NEOREALISME DAN LAHIRNYA METODE ANALISA BAHASA

69. Pengertian Filsafat Administrasi

70. ontologi, epistimologi dan aksiologi administrasi

71. OBJEK FORMA FILSAFAT ADMINISTRASI

72.Filsafat administrasi pendidikan

73. Filsafat system

74.Sejarah Logika

75.  Masa Pertumbuhan dan Perkembangan Pada Masa Islam

Masa Pertumbuhan dan Perkembangan Pada Masa Islam

Masa Pertumbuhan dan Perkembangan Pada Masa Islam
Buah tangan Aristotes diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada sekitar Abad 7 Masehi, dan kemudian diberinya nama ilmu al-Mantiq.
Ilmu Mantiq yang merupakan terjemahan dari Ilmu Logika adalah hasil karya para filosof Yunani sejak abad ke-4 SM. Kaum Sofis, Socrates dan Plato adalah perintis lahirnya Logika. Sedangkan Logika lahir sebagai suatu ilmu adalah atas jasa Aristoteles, Theoprostus dan kaum Stoa.[[10]]
 Aristoteles (384-322 SM) sebagai peletak dasar Ilmu Logika, meninggalkan enam buah buku yang oleh murid-muridnya disebut Organon. Buku tersebut terdiri dari :
1.  Categoriae (mengenai pengertian-pengertian)
2.  De Interpretiae (mengenai keputusan-keputusan)
3.  Analitica priora (tentang silogisme atau menarik kesimpulan)
4.  Analitica posteriora (tentang pembuktian)
5.  Topika (mengenai berdebat)
6.  De Sophisticis Elenchis (tentang kesalahan-kesalahan berpikir).
Buku-buku inilah yang kemudian menjadi dasar Logika Tradisional. Theoprostus mengembangkan Logika Aristoteles ini, sedangkan kaum Stoa mengajukan bentuk-bentuk berpikir yang sistematis.
Pada abad ke-8 Masehi, ketika agama Islam telah tersebar di Jazirah Arab dan dipeluk secara meluas sampai ke timur  dan barat, perkembangan ilmu pengetahuan pun mengalami kemajuan yang pesat. Puncaknya terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah Harun al Rasyid dan Al-Makmun. Pada masa itu terjadi penerjemahan ilmu-ilmu filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, termasuk Ilmu Logika. Ilmu ini sangat menarik perhatian kaum muslimin pada saat itu sehingga dipelajari secara meluas. Diantara mereka kemudian menulis buku Ilmu Mantiq dan mengembangkannya. Dalam berbagai segi, mereka mengislamisasikan ilmu logika melalui contoh-contoh yang mereka munculkan. Ilmu Mantiq tidak saja digunakan untuk mempertajam dan mempercepat daya pikir dalam menarik kesimpulan yang benar, tetapi juga membantu mengokohkan hujjah-hujjah agama dalam persoalan akidah.[10]
Di antara ulama dan cendekiawan muslim yang mendalami Ilmu Mantiq dan menulis buku tentang mantiq adalah Abdullah ibn al-Muqaffa’, Ya’qub  ibn Ishaq al-Kindi (185 H-260 H/801 M-873 M), Muhammad Ibnu Zakaria al-Razi (251 H-313 H/865 M- 925 M), Abu Nasr al-Farabi (258 H-339 H/870 M-950 M), Ibnu Sina (370 -428 H/980-1037 M), Abu Hamid al-Ghazali, Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1198 M), al-Qurthubi dan lain-lain. [11] Al-Farabi kemudian dikenal sebagai Guru Kedua Logika setelah Aristoteles. Karya-karya Al-Farabi dibagi menjadi dua, mengenai logika dan filsafat. Karya-karya tentang Logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari Organon-nya Aristoteles, baik yang berbentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah.
Selain Al-Farabi, juga dikenal Ibnu Sina sebagai Guru ke tiga Logika. Buku Logika Ibnu Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di penghujung abad ke-12. Yang lainnya adalah karya logika Ibn Rusyd di awal abad ke-14. Terjemahan inilah yang disebarkan di Paris (Perancis) dan Oxford (Inggris).[12]


Pada masa kemunduran ilmu pengetahuan di dunia Islam, timbullah berbagai kritikan terhadap Ilmu Mantiq /  Logika karena dianggap logika sebagai penyebab lahirnya paham-paham zindiq (atheis) karena terlalu memuja akal fikiran di dalam mencari kebenaran. Sebagian ulama kemudian mengharamkan mempelajari ilmu logika, seperti Imam an-Nawawi (1233-1277 M), Ibnu Shilah (1181-1243 M), Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) dan Sa’adduddin at-Taftazani (1322-1389 M).[13]
Pengaruh fatwa tersebut sangat kuat di kalangan umat Islam, sehinnga kegiatan dan perkembangan alam fikiran dunia Islam mengalami kemacetan dan kebekuan. Sementara dunia Barat sedang gembira menyambut zaman Kebangunan (Renaissance) di Eropa (abad 13-14 M).
Menjelang penghujung abad ke-19 bangkitlah gerakan pembaharuan dunia Islam yang dipelopori Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Sejalan dengan itu  perhatian penuh terhadap logika muncul kembali di Mesir.
Di Indonesia, Ilmu Mantiq pada mulanya dipelajari secara terbatas di perguruan-perguruan agama dan pesantren. Ilmu Mantiq sampai ke Indonesia bersama ilmu-ilmu agama lainnya yang dibawa oleh pelajar-pelajar muslim yang belajar di Timur Tengah.
Ilmu logika baru dipelajari lebih luas setelah diperkenalkannya buku Madilog karangan Tan Malaka yang terbit tahun 1951. Pada tahun 1954 Ilmu Mantiq telah dipelajari secara lebih luas dan dimasukkan ke dalam kurikulum perguruan tinggi


Sumber :
Jamaluddin Kafie, Logika, Form Berpikir Logis, (Surabaya : Karya Anda, )

Sejarah Logika

Sejarah Logika
Logika berasal dari kata Yunani kuno (Logos) yang berarti hasil pertimbangan yang berasal dari akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu cabang filsafat. Sebagai ilmu, logika disebut dengan Logike Episteme (Latin: Logica Scientia) atau Ilmu Logika (Ilmu Pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Ilmu disini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.
Dalam sejarah perkembangan logika muncul bersama dengan filsafat. Menurut sebagian kisah sejarah Zeno dari Citium (±340 SM – 265 SM) disebutkan bahwa tokoh Stoa adalah yang pertama kali menggunakan istilah logika. Namun demikian, akar logika sudah terdapat dalam pikiran dialektis para filsuf mazhab Elea. Mereka telah melihat masalah identitas dan perlawanan asas dalam realitas. Tetapi kaum sofis-lah yang membuat fikiran manusia sebagai titik api pemikiran secara eksplisit
 
 
Sumber : 
DR.W. Poespoprodjo, “Logika Scientifika Pengantar Dialektika Dan Ilmu”, [Bandung;pustaka Grafika,1999]

Filsafat system

Filsafat system
Aplikasi konsep system dalam praktek manajemen merupakan filsafat manajemen system sebagai suatu ringkasan tujuan, metodologi dan lingkup dari pandangan ini. Keseluruhan tujuan filosofi system harus dapat memberikan fasilitas berupa produktifitas dan kepuasan melalui integrasi organisasi (Shrode & Voich, 1974).
Asumsi yang berhubungan dengan sifat pekerjaan di mana kinerja dan aliran barang-barang serta layanan (output) menjadi ukuran yang berhubungan dengan aliran sumberdaya (input) dalam menentukan efisiensi system. Asumsi ini merefleksikan satu penekanan atas integrasi proses kelompok dan rasionalitas dalam menggunakan tehnik serta informasi kuantitatif dalam permodelan pekerjaan serta keputusan dalam optimalisasi kerja. Asumsi yang berhubungan dengan sifat alami individu sebagai orang dewasa yang kompleks dan unik serta kompleks.
Edgar Schein telah meringkas pandangan sistemik sebagai berikut : seseorang tidak hanya kompleks tetapi juga benar-benar bervariasi, dia mempunyai banyak perbedaan dalam alasan, dia mampu belajar tentang alasan baru melalui interaksi organisasi. Dalam sebuah organisasi yang sama mungkin memiliki alasan berbeda-beda, dia akan memberikan reaksi dengan cara berbeda kepada stimuli berbeda, tergantung pada alasan, kemampuan dan tugas-tugasnya.
Filsafat system memandang manajemen sebagai sebuah system yang terdiri atas kesatuan subsistem yang saling berhubungan antara kewenenangan dan tanggungjawab. Pandangan konsep system sebagai penekanan dihubungkan dengan keseluruhan dan interrelasi bagian-bagian, sehingga dapat menyediakan satu atau lebih pemahaman tentang kebenaran dari sifat alami manajemen. Pandangan system mengenali manajemen sebagai sebuah system sumber daya yang menguasai sekumpulan karakteristik sistemik dinamis untuk mencapai produktivitas dan kepusan organisasi secara keseluruhan.
Filsafat system muncul untuk merespon tumbuhnya kompleksitas lingkungan, ledakan pengetahuan, meningkatnya spesialisasi dan perubahan nilai manusia-sosial. Warren Schmidt mengatakan bahwa tempat kita hidup ini bukan tempat terpisah – kita berasal dari banyak tempat. Kita tidak bisa hanya menyelesaikan satu masalah- setiap masalah merupakan proses berlanjut. Peristiwa tidaklah tunggal – hari ini tidak berbeda dengan kemarin.
Perubahan terjadi di semua aspek kehidupan: ekonomi, pendidikan, pemerintah, teknologi dan kemanusiaan. Nilai-nilai pun berubah seperti diidentifikasi Ian H. Wilson (How Our Values Are Changing, 1970) :
• dari organisasi ke individu
• dari konformitas ke orisinalitas
• dari independen ke interdependen
• dari social ke privasi
• dari materialism ke kualitas kehidupan
• dari status quo ke perubahan
• dari masa depan ke sekarang
• dari kerja ke santai
• dari otoritas ke partisipasi
• dari sentralisasi ke desentralisasi
• dari ideology ke pragmatism
• dari moralitas absolute ke etika situasional
• dari efisiensi ekonomi ke keadilan social
• dari alat ke tujuan


Sumber :  Silalahi, Ulber. (1999). Studi Tentang Ilmu Administrasi Konsep Teori dan Dimensi. Jakarta : Sinar Baru Algesindo

Filsafat administrasi pendidikan

Filsafat administrasi pendidikan
Untuk memahami filsafat administrasi pendidikan, perlu dipahami terlebih dahulu secara etimologis dari makna filsafat, administrasi, dan pendidikan sebelum menemukan sintesis yang menghasilkan konsep filsafat administrasi pendidikan.
Filsafat
Filsafat dalam bahasa Yunani berasal dari dua suku kata philos dan Sophia. Philos diartikan sebagai cinta, sedangkan Sophia diartikan kearifan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan. Menjadi bijaksana berarti berusaha mendalami hakikat sesuatu. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa berfilsafat berarti berusaha mengetahui tentang sesuatu dengan sedalam-dalamnya, baik mengenai hakikatnya, fungsinya, ciri-cirinya , kegunaannya , masalah-masalahnya serta pemecahan-pemecahan terhadap masalah-masalah itu .
Administrasi
Administrasi didefinisikan sebagai keseluruhan proses kerja sama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian, 2008:2). Dengan demikian administrasi mengandung hal-hal sebagai berikut :
1. Administrasi sebagai seni adalah suatu proses yang diketahui permulaannya namun tidak diketahui akhirnya;
2. Administrasi memiliki unsure-unsur sebagai berikut :
• Adanya dua orang atau lebih
• Adanya tujuan yang hendak dicapai
• Adanya tugas-tugas yang akan dilaksanakan
• Adanya peralatan dan perlengkapan untuk melaksanakan tuga-tugas tersebut (waktu, tempat, material, sarana lainnya);
3. Administrasi sebagai proses kerja sama bukan merupakan hal yang baru karena ia timbul bersam-sama dengan timbulnya peradabanmanusia. Administrasi sebagai seni sebagai fenomena social.
Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudakan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Undang-undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Selanjutnya dikatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Pendidikan merupakan suatu system. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Dengan demikian filsafat administrasi pendidikan merupakan upaya yang mendalam untuk mengetahui hakikat dari proses kerjasama manusia mencapai tujuan bersama di bidang pendidikan secara sistemik.


Sumber :  Siagian, Sondang P. (2003). Filsafat Administrasi (edisi revisi). Jakarta : Penerbit Bumi Aksara

OBJEK FORMA FILSAFAT ADMINISTRASI

OBJEK FORMA FILSAFAT ADMINISTRASI
Obyek forma filsafat administrasi adalah keteraturan, pengaturan, atau dalam lingkup yang luas yaitu administration (Inggris) atau beheren atau bestuur (Belanda) yang berarti “pemerintah, pemerintahan” yang kesemuanya sebagai hasil dari pendekatan yang digunakan.
Artinya, dengan pendekatan yang digunakan, akan memberi batas terhadap apa yang menjadi objek materia dari filsafat yang dikaji.
Pendekatan atau yang menjadi pembatas inilah yang menempatkan perbedaan suatu kajian filsafat tertentu.
Keteraturan, pengaturan, kepemerintahan sebagai obyek forma filsafat administrasi secara substansial atau secara esensial akan nampak pada hubungan pengatur dengan pihak yang diatur, baik itu dalam konteks internal kerjasama yang berlangsung maupun secara eksternalberlangsung antara individu sebagai manusia subyek administrasi dengan individu dalam kehidupan yang lebih luas, apakah dalam realitas kehidupan kelompok kecil hingga pada kehidupan masyarakat, bahkan negara sekalipun sebagai objek yang harus dilayani, diayomi dan diberdayakan oleh para subyek administrasi.
Dalam artian yang lebih luas dan mendalam, esensi keteraturan dalam administrasi akan Nampak pada hubungan pemerintahan yang berlangsung secara fungsional yang diciptakan oleh para subjek administrasi sebagai pemerintah dengan para subjek yang diatur sebagai pihak yang diperintah.
Bagaimana hubungan itu berlangsung melalui: filsafat administrasi, kita akan memahaminya lewat hubungan pengaturan, yaitu hubungan pemerintahan.
Dalam rangka pemahaman itulah maka akan banyak ditemukan berbagai hal yang berkaitan dengan jawaban-jawaban yang harus diberikan secara filosofis, mulai dari persoalan gejala (fenomena) administrasi, normative administrasi hingga pada probabilistic administrasi.
Sumber:
Faried Ali, 2004, Filsafat Administrasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

ontologi, epistimologi dan aksiologi administrasi

Ontologi Administrasi
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang “yang ada”. “Yang ada” disini memiliki pengertian yaitu : pertama, istilah ini menunjuk terhadap apa-apa yang benar-benar ada di dunia, baik “yang ada” sebagai kenyataan, yang tampak di depan mata ataupun dapat dicerap oleh pancaindera.[3]
Pemikiran ontologi dalam administrasi tentunya diawali dari pembuktian, atau dengan kata lain penyelidikan yang dilakukan secara sadar dan mendalam sampai ke akar permasalahan yang sesungguhnya dan dapat diberlakukan kapan dan dimana saja serta relatif fundamental kandungan kebenarannya. Ontologi ilmu administrasi mencari pengertian menurut asal mula dan akar kata yang paling terdalam.[4]
Dengan kata lain, ontologi administrasi adalah pemikiran yang berdasarkan hakikat dan makna yang dikandung ilmu administrasi itu sendiri sebagai salah satu cabang ilmu administrasi.
1.             Kedudukan Ontologi Administrasi
Kedudukan ontologi administrasi adalah merupakan pangkal dasar dalam pengembangan pemikiran terhadap pembenaran dan kebenaran yang dikandung oleh ilmu administrasi itu sendiri.
Ontologis ilmu administrasi bercorak total daripada hal-hal yang bercirikan abstraksi dan konkret. Ontologi ilmu administrasi yang bercirikan asbtraksi karena hanya berada dalam pikiran manusia yang sifatnya sangat tidak terbatas dan jangkauannya hanya dapat dijangkau akal pikiran. Sedangkan ontologi administrasi yang bercirikan konkret karena memang dapat diamati langsung oleh pancaindra manusia dan hasilnya secara langsung dapat dinikmati.
2.             Metode Ontologi Administrasi
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam ontologi administrasi diperlukan metode berpikir yang bekerja cepat dan tepat. Dengan demikian, ontologi administrasi senantiasa menanyakan sesuatu yang telah dimengerti atau dikenal, karena pertanyaan adalah bagian dari nalar sebagai produk pemikiran manusia.
Pemahaman ontologi ilmu administrasi senada dengan keinsafan manusia terhadap dirinya sendiri sebelum melaksanakan berbagai aktiftasnya. Segala perkembangan, baik pada diri sendiri manusia ataupun pada bidang ilmu administrasi telah termuat dalam batas-batas kemampuan kedua hal tersebut, tidak akan dapat melampauinya. Yang ada di luar batasannya tidak akan dapat dipertanyakan, karena memang bukan batas dalam pikiran manusia di bidang administrasi.
3.             Potensi Ontologi Administrasi
Dengan spontanitas, dapat dikatakan bahwa potensi ontologi ilmu administrasi adalah pemikiran manusia terhadap isi dunia ini. Pada hakikatnya, tidak ada halangan atau hambatan bagi para ilmuwan administrasi dimana saja dan kapan saja untuk melakukan tindakan dan pemikiran tentang penciptaan pengaturan dan keteraturan it secara optimal. Segala jenis bipolaritas yang mensyaratkan terciptanya pengaturan dan keteraturan dalam ilmu administrasi menunjukan adanya kemungkinan, dan bahkan keinginan akan integritas secara maksimal.
Kewajiban para ilmuwan administrasi dalam rangka berpikir, berdasarkan pemikiran ontologi secara kebenaran transidental dan kebenaran empirikal, terletak pada struktur penalaran setiap ilmuwan administrasi. Jikalau terjadi kekurangan harmoni, kekurangan kebenaran, dan kebaikan, maka hal itu bukanlah muncul dari hakikat ontologi ilmu administrasi, tetapi merupakan suatu kejadian entah karena alasan apa dan kenyataan selalu ada, sepanjang masih ada yang ada.
4.             Normatif Ontologi Administrasi
Keberadaan hakikat kandungan normatif ontologi administrasi secara transidental dan empirikal sesungguhnya dapat dibedakan atas dua aspek utama. Kebenaran adalah keharmonisan dan sintesis yang maksimal dalam hal pemberian pengertian atau pemahaman terhadap ontologi ilmu administrasi, dan kedua, kebaikan adalah keharmonisan dalam hal penilaian dan pilihan nilai terhadap ontologi ilmu administrasi.
Namun, kebenaran dan kebaikan ontologi ilmu administrasi dalam kehidupan dan penghidupan manusia bukanlah dua hal yang berdampingan saja, tetapi merupakan suatu bipolaritas struktur dalam pemikiran manusia itu sendiri. Kebenaran dan kebaikan senantiasa selalu dalam kesejajaran dan seukuran.
5.             Positivisme Administrasi
Aliran positivisme dalam ilmu administrasi pada dasarnya berpangkal dari hati nurani manusia yang memancarkan kebenaran. Pancaran kebenaran hati nurani ini diproses dalam pemikiran dengan menghubungkan realita konkret maupun realita abstraksi tentang fenomena atau nomena administrasi, yang selanjutnya dipersepsikan melaluis suatu argumentasi.
6.             Rasionalisme Administrasi
Rasionalisme administrasi adalah suatu metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan di bidang administrasi. Paham rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan berasal dari akal pikiran. Disamping itu, aliran rasionalisme, tidak mengingkari adanya pengalaman, tetapi pengalaman itu menjadi perangsang terhadap proses pemikiran. Descartes, sebagai pelopor aliran rasionalisme, senantiasa berusaha menemukan suatu kebenaran  yang tidak dapat diragukan lagi sehingga mengantarkan manusia kepada cahaya terang.
C.           Epistemologi Ilmu Administrasi
Epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan logos diartikan pikiran, kata, atau teori. Epistemologi secara etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi theory of knowledge.
Secara istilah, epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan kesahihan pengetahuan.[5]
Ilmu pengetahuan di bidang administrasi adalah suatu pernyataan terhadap materi atau konten, bentuk atau form, serta objek formal dan materiilnya. Secara epistemologi, ilmu administrasi cenderung untuk membatasi diri pada hal-hal tentang persepsi dan pemahaman intelektual seseorang. Pengetahuan ilmu administrasi dapat membawa manusia kepada peristiwa kesadaran dari dari seluruh pemaknaan yang dikandung ilmu administrasi itu sendiri.
1.             Objektivisme Administrasi
Hakikat dasar dari pengetahuan administrasi manusia mensyaratkan adanya makna apriori (kebenaran dasar) sebagai realita fundamnetal dan tidak relatif, sedangkan kebenaran realita yang telah mengalami perubahan dari nilai dasar dan kebenaran relatif tertuang dalam hakikat aposteriori. Berpikir apriori dalam ilmu administrasi merupakan salah satu kajian dari konsep objektivisme, dengan bermuara kepada rasionalisme yang dalam perkembangannya mengalami tiga tahapan proses berpikir manusia dalam bidang ilmu administrasi. Pertama, kesadaran objek administrasi itu sendiri. Kedua, kesadaran bahwa adanya perbedaan penalaran terhadap objek administrasi. Ketiga, pemahaman terhadap hubungan yang terjadi antarberbagai entitas, baik perbedaan maupun persamaannya.
Penelusuran objektivitas pemikiran dalam administrasi dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang objek materialnya, adalah sesuatu yang menjadi sasaran perhatian secara detail tentang makna kandungan penalaran dalam pemikiran manusia yang mempelajari ilmu administrasi. Kedua, dari sudut pandang objek formalnya, bahwa ilmu administrasi memiliki ruang lingkup kajian dengan metode yang jelas.
2.             Subjektivisme Administrasi
Fenomena sosial menunjukan bahwa pemikiran subjektivisme telah berada di semua lini kehidupan, baik kehidupan birokrasi, pengusaha, maupun kehidupan sosial kemasyarakatan, semuanya menghendaki keadilan, tetapi yang dirasakan adalah ketidakadilan. Karl Marx memberikan argumentasi tentang rasa keadilan dengan pembagian sesuatu “ambillah masing-masing menurut kemampuannya” dan “berilah masing-masing menurut kebutuhannya”.
3.             Skeptisisme Administrasi
Skeptisisme adalah suatu kondisi atau perasaan yang dialami seseorang akibat tidak terpenuhinya sesuatu yang diinginkan.
Akar permasalahan terjadinya skeptisisme rupanya menunjukan jenis kepastian tertentu yang tidak dimiliki oleh para birokrasi bersangkutan sebagai pengelola administrasi negara yang berdampak negatif , dimana kepercayaan publik semakin berkurang dan kecurigaan semakin bertambah.
D.           Aksiologi Administrasi
Aksiologi membahas tentang nilai dalam kehidupan manusia. Aksiologi mencakup dua cabang filsafat yang terkenal yaitu etika dan estetika. Etika membahas hal buruk dan baik perbuatan manusia, dan estetika membicarakan tentang keindahan.
Aksiologi ilmu administrasi adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana dalam angka pemanfaatan, atau dengan kata lain penerapan ilmu administrasi yang teratur dan produktif. Ilmu administrasi yang dimanfaatkan secara positif memungkinkan manusia lebih leluasan untuk berinteraksi dengan sesama manusia maupun dengan lingkungannya, demikian juga bahwa ilmu administrasi dapat meningkatkan martabat manusia. Karena dengan memanfaatkan kebenaran ilmu administrasi akan semakin teruji kualitasnya serta semakin tampak bahwa ilmuwan administrasi sebagai makhluk yang termulia di muka bumi ini.
 
sumber :  Makmur, Filsafat Administrasi, Jakarta : Bumi Aksara, Cetakan ke-3, 2012. Hal.39 -40
  Masykur Arif Rahman, Loc.cit.  hal 49
  Makmur, Loc.cit, hal 40
Surajiyo, Filsafat Ilmu, Jakarta : Bumi Aksara, Cetakan ke-8, 2015. hal. 26

Pengertian Filsafat Administrasi

Pengertian Filsafat Administrasi
Secara etimologi (Bahasa). Kata ‘filsafat’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia. Kata philosophia ini dalam bahasa Arab disebut falsafah, dalam bahasa Inggris disebut philosophy, dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat. Philosophia sendiri terbentuk dari dua kata, yaitu philo yang artinya cinta dan shophia yang berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, philoshopia atau filsafat, secara etimologi, artinya cinta kebijaksanaan.
Menurut Masykur Arif Rahman, kata cinta kebijaksanaan ini mempunyai arti luas. Cinta bisa berarti cita-cita atau keinginan. Orang yang memiliki cinta atau keinginan akan berusaha menggapai sesuatu yang ia inginkan, atau akan berusaha meraih yang dicintai. Sedangkan kebijaksaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki beberapa pengertian, yaitu selalu menggunakan akal budi (pengalaman dan pengetahuannya), arif, cakap, cermat, pandai, dan hari-hati. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebijaksanaan adalah pengetahuan dan kepandaian yang mendalam. Jadi, secara sederhana “cinta kebijaksanaan” atau filsafat dapat dipahami sebagai keinginan untuk mengetahui segala sesuatu secara mendalam.
Adapun pengertian filsafat secara terminologis atau istilah merujuk pada beberapa pendapat beberapa ahli yang mencoba mendefinisikan istilah filsafat.
Plato mendefinisikan filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan yang asli. Sedangkan Aristoteles memberikan pengertian filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat keindahan).
Dengan memperhatikan batasan-batasan yang tentunya masih banyak yang belum dicantumkan, dapat ditarik benang merahnya sebagai kesimpulan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan mempergunakan akal sampai pada hakikatnya.
Sejalan dengan pembahasan diatas, maka pengertian filsafat administrasi adalah proses berpikir secara matang, berstruktur, dan mendalam terhadap hakikat dan makna yang terkandung dalam materi ilmu administrasi . Memang disadari atau tidak, sesungguhnya ilmu administrasi memfokuskan diri terhadap aspek manusia, terutama pelaksanaa aktifitas, dilakukan secara kerjasama. Dalam mewujudkan kerja sama diperlukan kematang pengaturan dan ketertiban dalam keteraturan agar upaya pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dapat terwujud dengan baik dan memuaskan dari seluruh yang terlibat.
 
Sumber : 
Makmur, Filsafat Administrasi, Jakarta : Bumi Aksara, Cetakan ke-3, 2012

DOMINASI FILSAFAT NEOREALISME DAN LAHIRNYA METODE ANALISA BAHASA

DOMINASI FILSAFAT NEOREALISME DAN LAHIRNYA METODE ANALISA BAHASA
Pada awal abad ke-20 an iklim filsafat di Inggris mulai berubah. Filsafat neoidealisme-neohegelianisme  ini akhirnya tidak dapat bertahan lama di Inggris. Pengaruhnya diambil alih oleh suatu reaksi baru, yaitu gerakan neorealisme. Para ahli fikir di Inggris menilai ungkapan filsafat Idealisme bukan saja sulit difahami, tetapi juga telah menyimpang jauh dari akal sehat. Sebagai reaksi menentang filsafat Idealisme, maka terjadilah suatu revolusi yang digagas oleh ahli fikir Inggris yaitu George Edward Moore (1873-1958), Alfred North Whitehead (1861-1947), dan Samuel Alexander (1859-1938). Ketiga filosof ini merupakan generasi pertama tokoh-tokoh neorealisme. Setelah itu menyusul tokoh-tokoh seperti Bertrand Russel (1872-1972), dan beberapa intelektual dari lingkungan akademisi Wina seperti Ludwig Wittgenstein (1889), dan Alfred Yules Ayer (1910).  Melalui filusuf inilah lahir metode filsafat yang baru yaitu metode analisa bahasa.
Tokoh pertama yang melancarkan kritikan pedas terhadap neohegelianisme adalah George Edward Moore (1873-1958), seorang guru besar filsafat dan ahli filologi dari Universitas Cambridge. Dalam karyanya A Defense Of Common Sense (1924), Moore mengatakan bahwa terjadi sebagian besar pertentangan antara sekian banyak filosof dengan akal sehat. Manakala seorang filosof berbenturan dengan akal sehat maka ia mempertahankan diri dengan jalan melarikan diri kedalam dunia gelap. Padahal, kata Moore, Akal sehat lebih dipercaya dari pada filsafat gelap.
Bagi Moore, tugas filsafat yang sebenarnya bukanlah menjelaskan atau menafsirkan (Baca; Interpretasi) tentang pengalaman kita, melainkan memberikan penjelasan terhadap suatu konsep yang siap untuk diketahui melalui kegiatan analisis bahasa berdasarkan akal sehat. Dan yang paling penting adalah mengkalimatkan pertanyaan-pertanyaan dengan jelas dan tepat. Hal ini karena banyak persoalan-persoalan filsafat yang belum bisa diturunkan dalam bentuk kalimat yang tepat dan sempurna, sehingga dapat menjawab persoalan-persoalan yang sebenarnya.
Metode analisa bahasa yang ditampilkan oleh Wittgenstein berhasil membentuk pola pemikiran baru dalam dunia filsafat. Dengan metode analisa bahasa itu, tugas filsafat bukanlah membuat pernyataan tentang sesuatu yang khusus (seperti yang dibuat oleh para filsuf sebelumnya), melinkan memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidakfahaman terhadap bahasa logika. Ini berarti analisa bahasa melulu bersifat kritik terhadap bahasa (Critical Of Language) yang dipergunakan dalam filsafat. Metode analisa bahasa ini telah telah membawa “Angin segar”  ke dalam dunia filsafat (terutama di Inggris), karena kebanyakan orang menganggap bahasa filsafat terlalu berlebihan dalam mengungkapkan realitas.
Meskipun dalam perkembangan selanjutnya para filsuf analitik menerapkan tekhnik analisa bahasa yang berbeda satu dengan yang lain serta menentukan kriteria yang berlainan tentang istilah atau ungkapan yang bermakna dengan yang tidak bermakna, namun ciri khas filsafat analitik itu sendiri mengandung nafas yang sama yaitu melalui kritik terhadap pemakaian bahasa dalam filsafat. Oleh karena itu, kebanyakan ahli filsafat menganggap kehadiran metode analisa bahasa ini dalam kancah filsafat, tidak hanya merupakan reaksi terhadap metode filsafat sebelumnya, akan tetapi juga menandai kelahairan atau munculnya suatu metode berfilsafat yang baru yang bercorak “ Logosentrisme”, dan pada gilirannya metode analisa bahasa ini tidak hanya di kenal di Inggris, akan tetapi dalam waktu belakangan ini juga telah menyebar luas di berbagai Negara. Dalam masa sekarang ini, metode analisa bahasa telah menduduki tempat yang setara dengan metode filsafat lainnya.


Sumber : 
Subuki, Makyun,  Semantik (Pengantar memahami makna bahasa), Jakarta : Trans Pustaka (2011)

DOMINASI FILSAFAT NEOIDEALISME - NEOHEGELIANISME

DOMINASI FILSAFAT NEOIDEALISME - NEOHEGELIANISME
Pada pertengahan abad ke-19 aliran filsafat Idealisme masuk ke Inggris. Hingga pada awal abad ke-20 aliran filsafat ini mengalahkan dominasi filsafat empirisme yang telah lama menjadi ciri utama tradisi filsafat di Inggris. Pada waktu itu aliran ini dikenal dengan sebutan neo-idealisme atau dengan neo-hegelianisme (idealisme-neohegelianisme). Hal ini karena sumber inspirasi utama filsafat Idealisme Inggris adalah filsafat hegelianisme. Diantara tokoh-tokohnya adalah adalah T.H. Green (1836-1882), Edward Cairdd (1835-1908), John Chaird (1820-1898), Francis Herbert Bradley (1846-1924), Bernard Bosanquet (1848-1923), dan J.E. Mctaggart (1846-1925).
Peristiwa mendominasinya filsafat neo-hegelianisme di Inggris adalah ketika ajaran Hegel sendiri tidak populer lagi di negeri asalnya. Itu terjadi kurang lebih seratus tahun setelah kematian Idealisme Jerman. munculnya neo-idealisme atau neo-hegelianisme di Inggris adalah sebagai reaksi atas materialisme dan positivisme yang merajalela di Eropa pada waktu itu dan khususnya atas filsafat John Stuart Mill (1806-1873) yang menguasai generasi para filosof Inggris sebelum menculnya Idealisme.
Menurut William James, masuknya filsafat Idealisme Hegel di Inggris telah mempengaruhi agama Kristen. Dan ia dapat memberikan “Tulang Punggung” kuasa-metafisis yang selalu dibutuhkan oleh teologi ini. Jadi dapat disimpulkan bahwa munculnya filsafat neohegelianisme di Inggris semula diharapkan dapat memberikan dasar pijakan filosofis bagi teologi Kristen. Hal ini mengingat selama berabad-abad tradisi empirisme dan bahkan materialisme mendominasi tataran pemikiran kefilsafatan di Inggris. Kedua aliran ini ( empirisme dan materialisme) sama sekali tidak memberikan ruang metafisis bagi suatu doktrin agama. Sudah tentu ini sangat berbeda dengan filsafat idealisme yang sangat besar dipengaruhi oleh pikiran Plato dan neo-Platonisme yang sangat dekat dengan pandangan-pandangan metafisis agama-agama. Misalnya Kant dan Hegel, keduanya memiliki tujuan untuk memulihkan lagi kepercayaan (restore faith) bangsa Eropa terhadap iman Kristen.
Beberapa gagasan filsafat dari tokoh-tokoh idealisme Inggris  nampak sangat menyolok, dan sangat berbeda dengan model empirisme yang selama berabad-abad telah dikembangkan di negeri itu. Bosanquet adalah salah satunya, ia telah memberikan pandangan bahwa kebenaran ialah keseluruhan. Hegel memberi istilah ini dengan “ the truth is the whole ” artinya bahwa benda-benda atau fakta-fakta tersendiri hanya mendapat maknanya karena tercantum pada keseluruhan. Dengan pengertian lain, bahwa yang individual harus dimengerti dalam hubungan yang absolut. Pandangan seperti ini sudah ada pada Plato dan neo-Platonisme atau pada Hegel.
 
 
sumber : 
Subuki, Makyun,  Semantik (Pengantar memahami makna bahasa), Jakarta : Trans Pustaka (2011)

SEJARAH FILSAFAT & PERIODISASI PEMIKIRAN FILSAFAT

SEJARAH FILSAFAT & PERIODISASI PEMIKIRAN FILSAFAT
Sebelum membahas tentang sejarah perkembangan filsafat, kita lebih dulu memahami makna tentang Sejarah Filsafat. Sejarah filsafat adalah satu bidang ilmu yang mengkaji tentang sejarah perkembangan sejarah filsafat dari masa ke masa, tentang sistem-sistem filsafat serta penafsiran secara kritis hasil-hasil pemikiran para filsuf terhadap persoalan-persoalan filsafati. Pengertian lain adalah : suatu museum yang memuat koleksi raksasa dari pendapat-pendapat pemikir-pemikir besar mengenai misteri hidup. Koleksi ini bertambah terus menerus dan dibedakan tiga tradisi besar, yaitu : filsafat india, filsafat cina, dan filsafat barat[3].
Sulit untuk menentukan corak pemikiran filsafat barat di awal abad-21 ini, karena begitu luasnya permasalahan yang dibicarakan dalam dunia filsafat tersebut. Salah satu cara untuk mengetahui corak pemikiran filsafat barat ini adalah dengan melihat pada periodisasi yang dibuat oleh para ahli. Berikut akan kami paparkan periodisasi pemikiran filsafat barat :
1.      Zaman Yunani kuno (abad 7-5 SM)
Pada masa ini filsafat lebih bercorak “kosmosentris”, artinya para filsuf pada waktu itu mengarahkan perhatian mereka terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan terjadinya alam semesta. Mereka berupaya mencari jawaban tentang prinsip pertama (arkhe) dari alam semesta, oleh karena itu, mereka lebih dikenal dengan julukan “filsuf-filsuf alam”. Tokoh-tokohnya adalah Thales, anaximandros, anaximenes, dan lain-lain.
2.      Zaman Klasik Yunani (abad 5 SM – 2 M)
 
 
 Sumber : Alwasilah, A. Chaedar, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, Bandung : Remaja Rosdakarya (2008)
Pada masa ini filsafat lebih bercorak “ antrophosentris” artinya, para filsuf pada periode ini menjadikan manusia atau (antrophos) sebagai objek pemikiran filsafat mereka. Mereka berupaya mencari jawaban tentang masalah etika (filsafat tingkah laku ) dan juga hakekat manusia. Tokoh-tokohnya, Socrates, Plato, Aristoteles. Mereka dijuluki filsuf klasik karena ide mereka tetap actual.
3.      Abad pertengahan (abad 2 M- 14 M)
Pada masa ini filsafat lebih bercorak teosentris, artinya para filsuf pada periode ini menjadikan filsafat sebagai abdi Agama atau filsafat diarahkan pada masalah ketuhanan, suatu karya filsafat dinilai benar sejauh tidak menyimpang dari ajaran Agama (Christiany). Tokoh-tokohnya, Augustinus dan Thomas Aquinas.
4.      Zaman renaissance (abad 14-16)
Pada zaman ini ahli fikir berupaya melepaskan diri dari dogma-dogma agama. Bagi mereka citra filsafat yang paling bergengsi adalah zaman klasik Yunani. Oleh karen itu mendambakan kelahiran kembali filsafat yang bebas, yang tidak terikat pada ajaran agama. Cita-cita ini terwujud dengan baik karena ditunjang oleh faktor penyebab sebagai berikut :
a.       Pudarnya kewibawaan dewan gereja pada masa itu karena terlalu banyak mencampuri kegiatan-kegiatan ilmiah. Misalnya hukuman bakar yang dikenakan terhadap Bruno lantaran kegiatan ilmiahnya dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama.
b.      Orang tidak lagi mempercayai nilai-nilai universal yang dianggap terlau abstrak. Orang-orang pada masa itu lebih mendambakan nilai-nilai individual yang bersifat konkrit dan lebih banyak memberikan kesempatan untuk menggunakan akal fikir secara bebas.
5.      Abad Modern (abad 16-19)
Corak pemikiran filsafat pada masa ini kembali pada masalah “Antrophosentris”, serupa dengan zaman klasik Yunani, namun lebih mengagungkan kemampuan akal fikir manusia. Tokoh-tokohnya adalah : Descartes, Hume, I.Kant, Hegel dan A. Comte.
6.      Abad ke-20- sekarang
Meskipun sulit untuk menentukan corak pemikiran filsafat yang khas pada masa ini, namun banyak ahli filsafat yang menganggap filsafat yang bercorak “Logosentris” lebih dominan daripada yang lain. “Logosentris” artinya, kebanyakan filsuf pada masa ini melihat bahasa sebagai objek terpenting pemikiran mereka. Tokoh-tokohnya adalah: G.E. Moore, Russel, Wittgenstein, Ryle Austin.[4]