1.
RASIONALISME (DESCARTES –
SPINOZA – LEIBNIZ)
Rasionalisme adalah
paham filsafat yang mengatakan bahwa
akal (reason) adalah alat terpenting
dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Rasionalisme mengajarkan
bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah
kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika. (Ahmad Tafsir, 2013 : 127)
Descartes
(1596-1650)
a.
Tentang Kesadaran
Dengan konsep dan metode pengetahuannya yang rasional dan
baru, Rene Descartes dijuluki Bapak Filsafat Modern.[1] Ia
meyakini bahwa sumber pengetahuan yang benar adalah rasio, bukan mitos,
prasangka, omongan orang, ataupun wahyu seperti yang diyakini pada Abad Pertengahan.
Ia sangat yakin pada kemampuan rasio untuk mencapai kebenaran, lantaran di luar
rasio mengandung kelemahan atau kesangsian. Atas keyakinannya pada rasio
tersebut, ia membangun pemikiran filsafatnya.
Rasio yang dimaksud oleh Descartes adalah kesadaran (cogito). Sejak Descartes mengeluarkan
konsepnya tentang kesadaran, para filsuf mulai benar-benar menggeluti masalah
kesadaran. (Masykur Arif Rahman, 2013: 241)
b.
Metode Keraguan
Descartes menjelaskan pencarian kebenaran melalui metode
keragu-raguan. Karyanya,
A
Discourse on Methode[2] mengemukakan empat hal berikut :
1.
Kebenaran baru dinyatakan sahih jika telah benar-benar indrawi
dan realitasnya telah jelas dan tegas (clearly
and distincictly.
2.
Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sampai sebanyak
mungkin, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
3.
Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal
yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang
paling sulit dan kompleks.
4.
Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit,
selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta
pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga diperoleh keyakinan bahwa
tidak ada satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.
(Atang Abdul Hakim, 2008: 251)
c.
Tiga Realitas
Descartes menegaskan adanya tiga realitas atau substansi
bawaan (ide-ide bawaan). Adapun ketiga realitas tersebut adalah :
1.
Realitas pikiran atau kesadaran (res cogitan). Descartes menyebutkan bahwa pikiran sebagai ide
bawaan sudah ada sejak kita dilahirkan. Selain itu, pikiran adalah kesadaran
yang tidak mengambil tempat dan tak dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang lebih
kecil. Sebab, pikiran bukanlah materi, melainkan jiwa yang berbeda dengan
materi.
2.
Realitas perluasan atau materi (res extensa). Materi merupakan keluasan yang mengambil tempat dan
dapat dibagi-bagi serta tidak memiliki kesadaran. Bagi Descartes, walaupun
terkadang menampakkan kesan yang menipu dan tidak selalu sempurna atau berubah,
tetapi materi sudah ada sejak semula. Karena itu, materi menunjukkan sebuah ide
bawaan.
3.
Realitas Tuhan. Tuhan merupakan wujud yang seluruhnya
sempurna. Adanya realitas Tuhan ini dikarenakan adanya kesadaran memiliki ide
tentang yang sempurna, dan ketidaksempurnaan materi mengandalkan adanya yang
sempurna. Yang sempurna itu adalah Tuhan. Karena itu, Tuhan termasuk ide
bawaan.
Spinoza
(1632-1677)
a.
Tentang Substansi Tunggal
Baruch de Spinoza menolak tiga realitas atau substansi yang
dipercayai oleh Descartes. Penolakannya itu didasarkan pada definisi mengenai
substansi. Ia mendefinisikan substansi adalah sesuatu yang berdiri sendiri
tanpa membutuhkan sebab yang lain, atau ada dengan dirinya sendiri, bahkan
tidak tergantung pada yang lain. Jika dalam realitas terdapat dua substansi
yang berasal dari satu substansi, sebagaimana diyakini Desartes, hal itu sangat
tidak masuk akal. Pasti substansi hanyalah satu. Oleh sebab itu, Spinoza dengan
definisi substansi tersebut, menyakini bahwa substansi itu tunggal. Tidak ada substansi
yang berasal dari substansi lain.
b.
Tuhan atau Alam (Deus suve Natura)
Menurut Spinoza, substansi tunggal itu adalah Tuhan. Bagi
Spinoza, sebagaimana substansi, Tuhan itu tunggal, abadi, tidak terbatas
(universal), tidak tergantung pada yang lain, mutlak, dan utuh. Spinoza
mengajarkan, apabila Tuhan sebagai satu-satunya substansi, maka harus dikatakan
bahwa segala sesuatu, baik yang bersifat materi (tubuh, pohon, batu, planet,
dan materi laninnya) maupun jiwa (pemikiran, kesadaran, perasaan, dan kehendak),
berasal dari Tuhan. Sebab, materi dan jiwa tidak berdiri sendiri dan bukanlah
substansi, tetapi berasal dari serta tergantung pada substansi tunggal, yaitu
Tuhan.
Spinoza menganggap materi dan jiwa hanyalah modi (cara) berada Tuhan sebagai
substansi tunggal. Oleh karena itu, pada dasarnya, alam semesta dan segala
isinya identik dengan Tuhan, atau tidak ada perbedaan hakiki antara Tuhan dan
alam. Pendapat yang menyamakan antara Tuhan dan alam ini desebut sebagai
panteisme.[3] (Masykur
Arif Rahman, 2013: 248)
Leibniz
(1646-1716)
Tentang Monad-Monad (Monadologi)
Gottfried Wilhelm
von Leibniz tidak meyakini adanya tiga substansi seperti yang diyakini
Descartes. Ia juga tidak percaya dengan satu substansi sebagaimana yang
dipercaya Spinoza. Baginya, tidak hanya ada satu atau tiga substansi di alam
ini, tetapi ada banyak substansi, atau substansi itu jumlahnya tidak terhingga.
Spinoza menyebut
substansi yang banyak itu sebagai monad
(monos = satu; monad = satu unit). Monad bukanlah materi terkecil yang mempunyai
bentuk dan keluasan, melainkan murni bersifat metafisik atau spiritual. Karena
itu, sebagai substansi yang nonmaterial, monad memiliki beberapa sifat,
diantaranya :
1.
Abadi, artinya tidak bisa dihasilkan ataupun dimusnahkan.
2.
Tidak bisa dibagi (ini bertentangan dengan substansi keluasan
Descartes yang bisa dibagi-bagi).
3.
Berdiri sendiri atau individual. Artinya, monad yang satu
dengan monad yang lain tidak identik atau tidak sama (ini bertentangan dengan
substansi Spinoza yang mengidentikkan antara Tuhan dan alam).
4.
Tertutup. Mengenai sifat ini, menunjuk pada kata-kata Leibniz
sendiri. Ia mengatakan bahwa monad-monad itu “tidak berjendela yang membuat
sesuatu bisa masuk atau keluar.”
5.
Memiliki hasrat dan keinginan yang muncul dalam dirinya
sendiri.
Leibniz menyebutkan
adanya monad pertama, yaitu Tuhan. Monad pertama ini tidak terbatas dan
menciptakan monad-monad yang terbatas. Tuhan, sebagai monad pertama, pada saat
penciptaan, mengadakan “harmonie
preetablie” (keselarasan yang ditetapkan sebelumnya) di antara monad-monad
terbatas ciptaan-Nya sebagaimana terlihat dalam kehidupan. Jadi, adanya
keselarasan, keteraturan, dan interaksi di dunia disebabkan oleh perantara
Tuhan yang menciptakan harmoni di antara monad-monad. Tuhan, dalam pandangan
Leibniz, memiliki kekuasaan penuh terhadap ciptaan-Nya. Jika Tuhan sudah
berkehendak, walaupun ciptaan-Nya juga memiliki kehendak, kehendak ciptaan-Nya
akan dikalahkan oleh kehendak Tuhan yang menciptakannya. (Masykur Arif Rahman,
2013: 252)
2.
EMPIRISME (LOCKE – HUME)
Empirisme adalah
suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh
pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal.
Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Empirisme adalah
lawan rasionalisme. (Ahmad Tafsir, 2013: 173)
John
Locke (1632 – 1704)
Buku Locke, Essay Concerning Human Understanding
(1689), ditulis berdasarkan satu premis, yaitu semua pengetahuan datang dari
pengalaman. Ini berarti tidak ada yang dapat dijadikan ide atau konsep tentang
sesuatu yang berada di belakang pengalaman. Sebab, sebelum manusia mengalami
sesuatu, pikiran atau rasio seperti tabula
rasa (kertas putih kosong). Dengan contoh lain, bagi Locke, pikiran ibarat
papan tulis yang masih polos dan kosong sebelum guru masuk kelas.
Proses Memperoleh Pengetahuan
Bagaimana proses
memperoleh pengetahuan yang berdasarkan pada pengalaman itu? Pertama-tama
sebelum manusia mengetahui sesuatu, ia melakukan proses pengindraan,
pengamatan, atau observasi terhadap dunia di luar dirinya, seperti mengamati
keluasan, warna, dan bau, serta mendengarkan sesuatu. Segala sesuatu yang
ditangkap dari dunia luar melalui indra, oleh John Locke disebut “pandangan
sederhana” atau “ide-ide sederhana” (simple ideas).
Selanjutnya,
pandangan sederhana atau ide-ide sederhana itu terolah di dalam pikiran dengan
cara digabung-gabungkan dan diabstraksikan, sehingga menghasilkan “pandangan
kompleks” atau “ide-ide kompleks” (complex ideas), seperti ide kemanusiaan,
keadilan, pepohonan dan lainnya.
Contoh sederhana
mengenai pandangan John Locke tersebut ialah : pertama-tama seseorang mengamati
“ide-ide sederhana”, seperti materi, manis, berair dan berwarna kemerahan yang
terdapat pada suatu objek. Kemudian, ide-ide sederhana itu digabungkan dan
diabstraksikan menjadi “ide kompleks”, sehingga menghasilkan nama “buah
anggur”. Nama “buah anggur” yang tak lain adalah ide kompleks merupakan hasil
penggabungan dari ide-ide sederhana tadi. Jadi, “ide kompleks” merupakan
kumpulan dari “ide-ide sederhana” yang didapat dari pengalaman. Dengan
demikian, ide kompleks yang oleh kaum rasionalis sering disebut sebagai ide
bawaan sebenarnya juga adalah dari pengalaman.[4] (Masykur
Arif Rahman, 2013: 265)
David
Hume (1711 – 1776)
Hume menolak
anggapan kaum rasionalis yang meyakini bahwa manusia mempunyai ide-ide bawaan.
Baginya, manusia tidak memiliki ide-ide bawaan. Pengetahuan atau kesadaran yang
terbentuk dalam diri manusia berasal dari pengalaman indrawi. Tak ada
pengetahuan yang tidak berasal dari pengalaman indrawi. Menurutnya, pengetahuan
yang berasal dari pengalaman indrawi diperoleh melauli persepsi, yang terdiri
dari dua unsur, yaitu :
1.
Kesan (impressions). Kesan diperoleh melalui pengalaman
langsung (ketika sedang terjadi). Kesan ini sifatnya jelas, hidup, dan kuat.
Misalnya, ketika tangan menyentuh api, maka tangan akan langsung terasa panas.
Inilah yang dimaksud kesan itu jelas, hidup dan kuat.
2.
Gagasan (ideas). Gagasan lahir karena adanya penggabungan,
persekutuan atau pertautan antara kesan-kesan yang telah didapatkan sebelumnya.
Dengan demikian, “gagasan” diperoleh secara tidak langsung dari pengalaman yang
berbentuk “kesan”. Dengan kata lain, “kesan-kesan” yang ditangkap melalui
pengalaman langsung selanjutnya diproses di dalam akal lewat refleksi,
berpikir, menghubungkan, mengingat, membandingkan, berfantasi dan lain
sebagainya, sehingga membentuk sebuah “gagasan”.
Rasionalisme
memahami bahwa pada setiap benda, terdapat substansi. Misalnya, pada manusia,
substansinya disebut “pikiran”. Namun, menurut Hume, “pikiran” bukanlah
substansi, karena “pikiran” pada dasarnya hanyalah sekumpulan kesan yang datang
silih berganti dan terus menerus. Pernyataan Hume tersebut bermakna bahwa
“pikiran” tidak dapat dikatakan sebagai substansi, karena “pikiran” bukanlah
subjek yang berdiri sendiri. Dikatakan demikian karena ”pikiran” baginya
hanyalah sekumpulan kesan belaka, seperti perasaan sedih, sakit, dingin, panas,
takut, bahagia dan lainnya. Semua itu hanyalah sekumpulan kesan yang oleh
sebagian manusia dianggap sebagai substansi.
Prinsip sebab
akibat (kausalitas) atau hukum alam sudah menjadi kepercayaan yang mengakar
kuat sejak lama, baik dalam filsafat, agama, maupun sains. Misal, jika terjadi
peristiwa A, maka akan terjadi peristiwa B. Menurut Hume, konsep kausalitas
yang didasarkan pada hubungan yang niscaya antara peristiwa yang satu dengan
peristiwa yang lain tidak benar dan didasarkan pada sebuah kebingungan belaka.
Bagi Hume, yang disebut kausalitas hanyalah sebuah urutan kejadian. Sebab, di
dalam konsep kausalitas, tidak ada prinsip yang dijadikan dasar penghubung
antarperistiwa. Dengan kata lain, dalam konsep kausalitas, tidak ada yang
niscaya, yang ada hanyalah pengalaman mengenai urutan kejadian. Karena itu,
Hume menolak kausalitas.[5] (Masykur
Arif Rahman, 2013: 276)
Aliran ini muncul
abad ke-18. Suatu zaman baru dimana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba
menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dan empirisme. Zaman baru ini
disebut zaman Pencerahan (Aufklarung). Zaman pencerahan ini muncul dimana manusia lahir dalam keadaan belum
dewasa (dalam pemikiran filsafatnya). Akan tetapi, setelah Kant mengadakan
penyelidikan (kritik) terhadap peran pengetahuan akal. Setelah itu, manusia
terasa bebas dari otoritas yang datangnya dari luar manusia, demi kemajuan atau
peradaban manusia.
Sebagai latar belakangnya, manusia melihat adanya kemajuan ilmu
pengetahuan (ilmu pasti, biologi, filsafat, dan sejarah) telah mencapai hasil
yang menggembirakan. Di sisi lain, jalanya filsafat tersendat-sendat. Untuk itu
diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan
alam. Isaac Newton (1642-1772) memberikan dasar-dasar berpikir dengan induksi,
yaitu pemikiran yang bertitik tolak pada gejala-gejala dan mengembalikan kepada
dasar-dasar yang sifatnya umum. Untuk itu dibutuhkan analisis.
Gerakan ini dimulai di Inggris, kemudian ke Prancis, dan sselanjutnya
menyebar ke seluruh Eropa, termasuk ke Jerman. Di Jerman pertentangan antara
rasionalisme dengan empirisme semakin beerlanjut. Masingh-masing berebut
otonomi. Kemudian timbul masalah, siapa yang sebenarnya dikatakan sebagai
sumber pengetahuan? Apakah pengetahuan yang benar itu lewat rasio atau empiri?
Seorang ahli pikir Jerman Immanuel Kant (1724-1804) mencoba
menyelesaikan persoalan diatas. Pada awalnya, Kant mengikuti rasionalisme,
tetapi kemudian terpengaruh oleh empirisme (Hume). Walaupun
demikian, Kant tidak begitu mudah menrimanya karena ia mengetahui bahwa
empirisme terkandung skep-tisisme. Untuk itu, ia tetap mengakui kebenaran ilmu,
dan dengan akal manusia akan dapat mencapai kebenaran.
Akhirnya, Kant mengakui peranan akal dan keharusan empiri, kemudian
dicobanya menggunakan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada akal
(rasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari benda (empirisme). Ibarat
burung terbang harus mempunyai sayap (rasio) dan udara (empirii).
Jadi, metode berpikirnya disebut metode kritis. Walaupun ia mendasarkan
diri pada nilai yang tinggi dari akal, tetapi ia tidak mengingkari adanya
persoalan-persoalan yang melampaui akal. Sehingga akal mengenal batas-batasnya.
Karena itu aspek irrasionalitas dari kehidupan dapat diterima kenyataanya.
- IDEALISME
Idealisme adalah
salah satu aliran filsafat yang berpaham
bahwa pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah ide. Semua bentuk realita
adalah manifestasi dalam ide. Karena pandangannya yang idealis itulah idealisme
sering disebut sebagai lawan dari aliran realisme. Tetapi, aliran ini justru
muncul atas feed back realisme yang menganggap realitas sebagai kebenaran
tertinggi.
Setelah Kant mengetengahkan kemampuan akal manusia, maka para murid
Kant tidak puas terhadap batas kemampuan akal, alasanya karena akal murni tidak
akan dapat mengenai hal yang berada di luar pengalaman. Untuk itu, dicarinya
suatu dasar, yaitu suatu sisitem metafisika yang ditemukan lewat dasar tindakan
: aku sebagai sumber yang sekonkret-konkretnya. Titik tolak tersebut dipakai
sebagai dasar untuk membuat suatu kesimpulan tentang keseluruha yang ada.
Pelopor Idealisme J.G. Fichte (1762-1814), F.W.J. Scheling (1775-1854),
G.W.F Hegel (1770-1831), Schopenhauer (1788-1860).
Apa yang dirintis oleh Kant mencapai puncak perkembanganya pada Hegel.[6].
Pengaruhnya begitu besar sampai luar Jerman. Menjadi profesor ilmu filsafat
sampai meninggal. Setelah ia mempelajari pemikiran Kant, ia tidak puas tentang
ilmu pengetahuan yang dibatasi secara kritis. Menurut pendapatnya, segala
peristiwa didunia ini hanya dapat dimengerti jika suatu syarat dipenuhi, yaitu
jika peristiwa-peristiwa itu sudah
secara otomatis mengandung penjelasan-penjelasanya. Ide yang berpikir
itu sebenarnya adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Artinya, gerak yang
menimbulkan tesis, kemudian menimbulkan anti tesis (gerak yang bertentangan).
Kemudian timbul sintesis yang merupakan tesis baru, yang nantinya menimbulkan
antitesis dan seterusnya. Inilah yang disebutnya sebagai dialetika. Proses
dialetika inilah yang menjelaskan segala peristiwa. (Asmoro Achmadi, 2013;118)
- POSITIVISME
Positivisme berasal
dari kata “positif”. Kata “positif” disisni sama artinya dengan faktual, yaitu
apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak
boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, ilmu pengetahuan empiris menjadi
contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Kemudian filasafat pun harus
meneladani contoh itu. Oleh karena itu pulalah, positivisme menolak cabang
filsafat metafisika. Menanyakan “hakikat” benda-benda atau “penyebab yang
sebenarnya”, bagi positivisme, tidaklah mempunyai arti apa-apa. Ilmu
pengetahuan, ternasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan
yang terdapat antara fakta-fakta. Tugas khusus filsafat ialah mengoordinasikan
ilmu-ilmu pengetahuan yang beragam coraknya. Tentu saja maksud positivisme
berkaitan erat dengan apa yang di cita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun
mengutamakan pengalaman. Hanya saja berbeda dengan empirisme Inggris yang
menerima pengalaman batiniah atau subjektif sumber pengetahuan. Positivisme
tidak menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah tersebut. Ia
hanyalah mengandalkan fakta-fakta belaka. (Hendi Suhendi, 2008:296)
Ada tiga pengertian
umum positivisme[7].
1.
Positivisme legal ialah suatu teori yang menyatakan, bahwa
hukum negara berdasar pada keinginan pemilik kekuasaan negara tersebut.
Pertama-tama pendapat ini menyatakan bahwa legislasi dan pengakuan otoritas
atas keputusan yudisial.
2.
Positivisme moral atau positivisme moral teologis, dikenal
dengan nama voluntarisme teologis ialah suatu teori yang menyatakan bahwa
perintah-perintah arbitrer Tuhan melakukan tindakan-tindakan tertentu tentang
benar atau salah.
3.
Filsafat positivisme dimulai dengan August Comte dengan
filsafat positif dan positivismennya digunakan untuk merancang pandangan dunia
yang merangkum masalah-masalah dalam kehidupan ilmu modern, serta menolak
superstisi, religi dan metafisika sebagai bentuk pikiran pra-ilmiah yang akan
menyerahkan kepada ilmu positif sebagai kemanusiaan meneruskan kemajuannya. (
Sutardjo A. Wiramihardja, 2006:145)
Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19.
Titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan yang
positif, sehingga metafisika ditolaknya. Maksud positif adalah segala gejala
yang dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman
objektif. Jadi, setelah fakta diperolehnya, fakta-fakta tersebut kita atur
dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) kemasa depan.
Salah satu tokohnya
adalah August Comte[8]
(1798-1857). Menurut pendapatnya, perkembangan pemikiran manusia berlangsung
dalam tiga tahap: tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap ilmiah atau
positif.
Pada tahap teologis
manusia mengarahkan pandangannya kepada hakikat yang batiniah (sebab pertama).
Disini manusia percaya kepada kemungkinan adannya sesuatu yang mutlak. Artinya,
dibalik setiap kejadian tersirat adannya maksud tertentu.
Pada tahap
metafisis manusia hanya sebagai tujuan pergeseran dari tahap teologis. Sifat
yang khas adalah kekuatan yang tadinya bersifat adi kodrati, diganti dengan
kekuatan-kekuatan yang mempunyai pengertian abstrak, yang diintegrasikan dengan
alam. Satu manifestasi yang serupa dinyatakan dalam Declaration of Independent :”Kita menganggap kebenaran ini jelas
dari dirinya sendiri...” Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi
mengenai hukum alam yang jelas dengan sendirinya menurut pikiran manusia,
sangat mendasar dalam cara berpikir metafisik.
Pada tahap ilmiah
atau positif. Manusia telah memulai mengetahui dan sadar bahwa upaya pengenalan
toelogis dan metafisis tidak ada gunanya. Sekarang manusia berusaha mencari
hukum-hukum yang berasal dari fakta-fakta pengamatan yang dengan memakai akal.
Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber
pengetahuan terakhir. Akan tetapi, pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak
mutlak, semangat positivisme memperlihatkan keterbukaan terus-menerus terhadap
data baru atas dasar pengetahuan dapat ditinjau dan diperluasa. Akal budi
penting, seperti dalam metode metafisik, tetapi harud dipimpin oleh data
empiris. Analisis rasional mengenai data empiris, akhirnya memungkinkan manusia
untuk memperoleh hukum-hukum, tetapi hukum-hukum dilihat sebagai uniformitas
empiris lebih daripada kemutlakan metafisik.
Tahap-tahap
tersebut berlaku pada setiap individu (dalam perkembangan rohani) juga dibidang
ilmu pengetahuan.
August Comte
berupaya untuk membangun agama baru tanpa teologi atas dasar filsafat
positifnya. Agama baru tanpa teologi ini mengagungkan akal dan mendambakan
kemanusiaan dengan semboyan “Cinta sebagai prinsip, teratur sebagai basis,
kemajuan sebagai tujuan”.
Sebagai istilah
ciptaannya yang terkenal altrusim yaitu menganggap bahwa soal utama bagi
manusia ialah usaha untuk hidup bagi kepentingan orang lain. (Asmoro Achmadi,
2013:120)
- EVOLUSIONISME
Aliran dipelopori
oleh seorang Zoologi yang mempunyai pengaruh sampai saat ini yaitu, Charles Robbets Darwin (1809-1882).[9]
Pada tahun 1938
membaca bukunya Malthus An Essay on the Prinsiple of Population. Buku
tersebut memberikan inspirasi kepada Darwin untuk membentuk kerangka berpikir
dari teorinya. Menurut Malthus, manusia akan cenderung meningkat jumlahnya
(deret ukur), diatas batas bahan-bahan makanan (deret ukur). Dengan demikian,
Darwin memberikan kesimpulan bahwa untuk mengatasi hal tersebut manusia harus
bekerja sama, harus berjuang diantara sesamanya untuk mempertahankan hidupnya.
Karena itu hanya hewan yang ulet yang mampu untuk menyesaikan diri dengan iklim
sekitarnya.
Dalam pemikirannya,
ia mengajukan konsepnya tentang perkembangan tentang segala sesuatu termasuk
manusia yang di atur oleh hukum-hukum mekanik, yaitu survival of the fittest
dan struggle for life.
Pada hakikatnya
antara manusia dan binatang dan manusia dan benda apapun tidak ada bedanya.
Dimungkinkan terdapat perkembangan manusia pada masa yang akan datang lebih
sempurna. Dalam pemikirannya, Darwin tidak melahirkan sistem filsafat, tetapi
pada ahli pikir berikutnya Herbert Spencer[10]
berfilsafat berdasarkan pada evolusionisme.
Dalam tulisan
utamanya “System of Synthetic Philosophy”, asas evolusi itu
dimasukkannya ke dalam jenis ilmu pengetahuan. “Darwinisme” dan “evolusionisme:
menjadi slogan terhadap suatu pandangan dunia yang melampaui maksud Darwin.
Dalam “First
Principles”, ia menyatakan bahwa yang dapat kita ketahui hanyalah fenomena
luar, meskkipun melalui argumentasi kita dapat menduga yang tidak dapat
diamati. Melalui argumennya, ia meyakini bahwa di balik fenomena luar terhadap
potensi yang menjadi sumber seluruh fenomena luar. Dan itu adalah evolusi,
ialah hukum yang mengatur proses saling menyempurnakan antara materi dan
gerakan. Masalah hubungan saling memengaruhi antara potensi dan lingkungan, ia
ditulis sebagai prinsip biologi dan psikologi.( Sutardjo A. Wiramihardja, 2006:144)
7.
MATERIALISME
Munculnya
positivisme dan evolusionisme menambah terbukanya pintu pengingkaran terhadap
aspek kerohanian. Perbedaan antara materialisme dengan positivisme adalah bahwa
positivisme membatasi diri pada fakta-fakta. Yang ditolaknya ialah tiap-tiap
keterangan yang melampaui fakta-fakta. Karena alasan itulah dalam rangka
positivisme tidak ada tempat untuk metafisika. Materialisme mengatakan bahwa
realitas seluruhnya tediri dari materi. Itu berarti bahwa tiap-tiap benda atau
kejadian dapat dijabarkan kepada materi atau salah satu proses material/
kiranya sudah jelas bahwa materialisme mengakui kemungkinan metafisika, karena
materialisme sendiri berdasarkan suatu metafisika. (K. Bertens, 1981 : 77)
Aliran
filsafat materialisme memandang bahwa realitas seluruhnya adalah materi belaka.
Tokoh aliran ini adalah Ludwig Freuerbach (1804-1872 M). Menurutnya hanya alamlah
yang ada dan manusia merupakan bagian dari alam
Dalam pandangan materialisme, manusia itu pada
akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Orang materialis tidak
mengatakan bahwa manusia sama dengan benda seperti kayu dan batu. Akan tetapi,
materialisme berpandangan bahwa pada akhirnya dan pada prinsipnya, manusia
hanyalah sesuatu yang materiil. Dengan kata lain, materi betul-betul materi.
Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi, batu atau pohon,
namun pada eksistensinya, manusia sama dengan sapi. (Atang Abdu Hakim, 2008 :
361)
Julien
de Lamettrie (1709-1751) mengemukakan pemikirannya bahwa binatang dan manusia
tidak ada bedanya, karena semuanya dianggap sebagai mesin. Buktinya, bahan
(badan) tanpa jiwa mungkin hidup (bergerak), sedangkan jiwa tanpa bahan (badan)
tidak mungkin ada. Jantung katak yang dikeluarkan dari tubuh katak masih
berdenyut (hidup) walau beberapa saat saja.
Seorang
tokoh (Materialisme Alam) adalah Ludwig Feueurbach[11]
(1804-1872) sebagai pengikut Hegel, mengemukakan pendapatnya, bahwa baik
pengetahuan maupun tindakan berlaku adagium, artinya terimalah dunia yang ada,
bila menolak agama/metafisika. Satu-satunya asas kesusilaan adalah keinginan
untuk mendapatkan kebahagiaan. Dan untuk mencari kebahagiaan manusia harus
ingat akan sesamanya. (Muzairi, 2009 : 1390-1340)
Aliran-aliran
dalam materialisme
Materialisme
tidak seluruhnya dari dulu sampai sekarang dalam satu konsep pendapat yang
tetap dan sama. Akan tetapi, materialisme mengalami perubahan seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan. Adanya aliran dalam materialisme tersebut hanya
terbatas dalam pemikiran atau ide-ide saja yang disebabkan oleh adanya
pendekatan yang berbeda. Adapun aliran-aliran tersebut adalah :
1.
Materialisme mekanik (mekanisme)
Dalam arti sempit, materialisme adalah teori yang
mengatakan bahwa semua bentuk dapat diterangkan menurut hukum yang mengatur
materi dan gerak.
Bagi seorang pengikut aliran materialisme mekanik,
semua perubahan dunia, baik perubahan yang menyangkut atom atau perubahan yang
menyangkut manusia, semuanya bersifat kepastian semata-mata. Terdapat suatu
rangkaian sebab-musabab yang dijelaskan dengan prinsip-prinsip sains alam
semata-mata. Materialisme mekanik merupakan doktrin yang mengatakan bahwa alam
itu diatur oleh hukum-hukum alam yang dapat diruangkan dalam bentuk-bentuk
matematika jika data-datanya telah terkumpul. Seorang pengikut aliran
materialisme mekanik berpendirian bahwa semua fenomena dapat dijelaskan dengan
cara yang dipakai dalam sains fisik.
Dasar-dasar materialisme dibentuk oleh sains
matematika dan fisika. Prinsip-prinsip penjelasan tersebut kemudian dipakai
oleh ilmu-ilmu: biologi, psikologi, dan ilmu masyarakat.
2.
Materialisme dialektika
Materialisme dialektika merupakan ajaran Karl Marx[12].
Materialisme dialektik timbul dari perjuangan sosial yang hebat, yang muncul
sebagai akibat dari Revolusi Industri.
Pandangan materialisme yang menyatakan bahwa realitas
seluruhnya terdiri dari materi, berarti bahwa tiap-tiap benda atau kejadian
dapat dijabarkan kepada materi atau salah satu proses materiil. Dalam filsafat
Marx, tampak ada pandangan dualistik, yaitu ia menganggap bahwa ala mini
terdiri dari dua kenyataan, yaitu materi dan idea tau kesadaran (conciousness). Materi diartikan sebagai
segala sesuatu yang berupa objek atau kegiatan kerohanian manusia yang meliputi
pikiran, perasaan, kemauan, watak.
Prinsip dalam aliran materialisme dialektika
memandang bahwa alam semesta ini bukan tumpukan yang terdiri dari segala
sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah-pisah, tetapi merupakan satu
keseluruhan yang bulat daan saling berhubungan. Alam ini bukan suatu yang diam,
tetapi selalu dalam keadaan bergerak terus-menerus dan berkembang. Dalm proses
perkembangannya, pada alam semesta ini terdapat perubahan kuantitas dan
kualitas dan sebaliknya.
Secara singkat ciri-ciri materialisme dialektika
adalah mempunyai asas gerak, asas saling berhubungan, asas perubahan kuantitas
dan kualitas. (Atang Absul Hakim, 2008 : 369-371)
3.
Materialisme historis
Perkembangan sejarah manusia dan masyarakat pun
tunduk dan mempunyai watak yang materialistik idealektis. Oleh sebab itu, bila
teori itu diterapkan pada gejala masyarakat, tumbullah apa yang dinamakan
metarialisme historis.
Disini pikiran dasar ialah bahwa arah yang ditempuh
sejarah sama sekali ditentukan oleh perkembangan sarana-sarana produksi yang
material. Jika sebagai contoh kita memilih pengolahan tanah maka perkembangan
sarana-sarana produksi adalah umpamanya : tongkat, pacul, bajak, mesin. Biarpun
sarana-sarana produksi sendiri merupaakan buah hasil pekerjaan manusia. Namun
arah sejarah tidak tergantung dari kehendak manusia. (K. Bertens, 1981 : 80-81)
8.
NEO-
KANTIALISME
Setelah materialisme
pengaruhnya merajalela, para murid Kant mengadakan gerakan lagi. Banyak filosof
Jerman yang tidak puas terhadap Materialisme, Positivisme, dan Idealisme.
Gerakan ini disebut Neo-Kantialisme. Tokohnya antara lain Wilhelm Windelband
(1848-1915), Herman Cohen (1842-1918), Paul Natrop (1854-1924), Heinrich
Reickhart (1863-1939).
Herman Cohen[13]
memberikan titik tolak pemikirannya mengemukakan bahwa keyakinannya pada
otoritas akal manusia untuk mencipta. Mengapa demikian, karena segala sesuatu
itu baru dikatakan ‘ada’ apabila terlebih dahulu dipikirkan. Artinya, ‘ada’ dan
‘dipikirkan’ adalah sama sehingga apa yang dipikirkan akan melahirkan pikiran.
Tuhan, menurut pendapatnya, bukan sebagai person,
tetapi sebagai cita-cita dari seluruh perilaku manusia. (Asmoro Achmadi, 2012 :
124)
- FENOMENOLOGI
Fenomenologi
berasal dari kata fenomen yang artinya
gejala, yaitu suatu hal yang tidak nyata dan semu. Kebalikannya kenyataan juga
dapat diartikan sebagai ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indra.
Misalnya, penyakit flu gejalanya batuk, pilek. Dalam filsafat fenomenologi,
arti di atas berbeda dengan yang dimaksud, yaitu bahwa suatu gejala tidak perlu
harus diamati oleh indra, karena gejala juga dapat dilihat secara batiniah, dan
tidak harus berupa kejadian-kejadian. Jadi, apa yang kelihatan dlam dirinya
sendiri seperti apa adanya.
Dan yang lebih penting dalam filsafat fenomenologi sebagai
sumber berpikir yang kritis. Pemikiran yang demikian besar pengaruhnya di Eropa
dan Amerika antara tahun 1920 hingga tahun 1945 dalam bidang ilmu pengetahuan
positif. Tokohnya : Edmund Husserl (1874-1928).
Edmund Husserl
(1839-1939) lahir di Wina. Ia belajat ilmu alam, ilmu falak, matematika,
kemudian filsafat. Akhirnya menjadi guru besar di Halle, Gottingen, Freiburg.
Pemikirannya, bahwa
objek atau benda harus diberi kesempatan untuk berbicara, yaitu dengan cara
deskriptif fenomenologis yang didukung oleh metode deduktif. Tujuannya adalah
untuk melihat hakikat gejala-gejala secara intuitif. Sedangkan metode deduktif
artinya mengkhayalkan gejala-gejala dalam berbagai macam yang berbeda.nsehingga
akan terlihat batas invariable dalam
situasi yang berbeda-beda. Sehingga akan muncul unsure yang tidak berubah-ubah
yaitu hakikat. Inilah yang dicarinya dalam metode variasi eidetis.
- EKSISTENSIALISME
Kata
eksistensialisme berasal dari kata eks
= ke luar, dan sistensi atau sisto = berdiri, menempatkan. Secara
umum berarti, manusia dalam keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan
segala sesuatu keberadaannya ditentukan oleh akunya. Karena manusia selalu
terlihat di sekelilingnya, sekaligus sebagai miliknya. Upaya untuk menjadi
miliknya itu manusia harus berbuat menjadikan sampai merencanakan, yang
berdasar pada pengalaman yang konkret.
Eksistensialisme
merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasaekan
pada eksistensinya. Artinya, bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam
dunia.
Pelopornya adalah
Soren Kierkegaard (1813-1855), Martin Heidegger,J.P. Sartre, Karl Jaspers,
Gabriel Marcel.
Pemikiran Soren
Kierkegaard mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu system
yang umum tetapi berada dalam eksistensu yang individu, yang konkret. Karena,
eksistensi manusia penuh dengan dosa, hnya iman kepada kristus sajalah yang
dapat mengatasi perasaan bersalah karena dosa.[14]
Martin
Heidegger (1905 M)
Menurut Martin Heidegger, keberadaan hanya akan dapat dijawab melalui jalan
ontologi, artinya jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari
artinya dalam hubungan itu. Metode untuk ini adalah metodologi fenomenologis.
Jadi, yang penting adalah menemukan arti keberadaan itu.
Satu-satunya yang berada dalam arti yang sesungguhnya adalah keberadaan manusia. Keberadaan benda-benda
terpisah dengan yang lain, sedang beradanya manusia , mengambil tempat di
tengah-tengah dunia sekitarnya. Keberadaan manusia disebut desein (berada
di sana, di tempat), berada artinya menempati atau mengambil tempat. Untuk itu,
manusia harus keluar dari dirinya dan berdiri di tengah-tengah segala yang
berada, Desein manusia di sebut juga eksistensi.
Keberadaan manusia, yaitu berada di dalam dunia maka ia dapat memberi tempat
kepada benda-benda yang ada di sekitarnya, ia dapat bertemu dengan benda-benda
itu dan dengan manusia-manusia lain, dapat bergaul dan berkomunikasi dengan
semuanya.
Sebenarnya benda-benda pada dirinya tidak mewujudkan dunia. Sebab,
benda-benda itu tidak dapat saling menjamah. Karena manusia berada di dalam
dunia, ia seibu dengan dunia, mengerjakan dunia atau mengusahakan dunia dan
sebagainya.
Keberadaan manusia (desein) juga mitsein (berada bersama-sama). Karena itu,
manusia terbuka bagi dunianya dan bagi sesamanya. Keterbukaan ini bersandar
pada tiga hal asasi, yaitu: befindichkeit (kepekaan), verstehen (memahami), dan
rede (kata-kata, bicara).
Kepekaan diungkapakan dalam bentuk perasaan: senang, kecewa atau takut.
Perasaan itu timbul karena kebersamaannya dengan yang lain, ia dihadapkan
kepada dunia sebagai nasib, di mana sekaligus menghayati kenyataan eksistensi
kita serba terbatas.
Yang dimaksud dengan mengerti atau memahami ialah bahwa manusia yang dengan
kesadaran akan beradanya di antara keberadaan lain-lainnya harus berbuat
sesuatu untuk menggunakan
kemungkinan-kemungkinan yang ada pada dirinya bagi memberi arti dan
manfaat pada dunia dalam kemungkinan-kemungkinannya. Dengan begitu, manusia,
dengan pengertiannya, merencanakan dan merealisasikan kemungkinan-kemungkinan
sendiri dan sekaligus juga kemungkinan-kemungkinan dunia.
Bicara adalah asas yang eksistensial bagi kemungkinan untuk berbicara dan
berkomunikasi bagi manusia. Secara aprioro, manusia telah memiliki daya untuk
berbicara. Ia adalah makhluk yang dapat terbicara. Sambil berbicara, ia
mengungkapkan diri. Pengungkapannya adalah suatu pemberitahuan dalam rangka
rencana yang diarahkan ke arah tertentu.
Menurut Heidegger, manusia tidak menciptakan dirinya, tetapi ia dilemparkan
ke dalam keberadaan. Walaupun keberadaan manusia tidak mengadakan sendiri,
bahkan merupakan keberadaan yang terlempar, manusia tetap harus bertanggung
jawab atas keberadaannya itu. Manusia harus merealisasikan
kemungkinan-kemungkinannya, tetapi dlaam kenyataannya tidak menguasai dirinya
sendiri. Inilah fakta keberadaan manusia, yang timbul dari Geworfenheid atau
situasi terlemparnya itu.
Kepekaan diungkapkan dalam suasana batin didalam perasaan dan emosi.
Diantara suasana batin atau perasaan-perasaan itu, yang terpenting ialah rasa
cemas. Latar belakang kecemasan ini adalah pengalaman umum yang menjadikan kita
tiba-tiba merasa sendirian, dikepung oleh kekosongan hidup, dimana kita merasa
bahwa seluruh hidup kita tiada artinya. Oleh karena itu, dalam hidup
sehari-hari, manusia bereksistensi, tidak yang sebenarnya. Akan tetapi, justru
karena itu, manusia memiliki kemungkinan untuk keluar dari eksistensi yang
tidak sebenarnya itu, keluar dari belenggu oleh pendapat orang banyak dan
menemukan dirinya sendiri.
Manusia yang tidak memiliki eksistensi yang sebenarnya menghadapi hidup
yang semu. Ia tidak menyatukan hidupnya sebagai satu kesatuan. Dengan ketekunan
mengikuti kata hatinya itulah, cara bereksistensi yang sebenarnya. Inilah cara
menemukan diri sendiri. Di sini, orang akan mendapatkan pengertian atau
pemikiran yang benar tentang manusia dan dunia. (Ahmad Syadali adn Mudzakir,
2014: 128-130)
J.P. Sartre
Jean Paul Sartre lahir di Paris pada tahun 1905 M dan meninggal pada tahun
1980 M. Ia belajar pada Ecole Normale Superieur pada tahun 1924-1928 M. Setelah
tamat dari sekolah itu, pada tahun 1929 M, ia mengajarkan filsafat di beberapa
Lycees, baik di paris maupun tempat lain. Dari tahun 1933 sampai tahun 1935, ia
menjadi mahasisiwa peneliti pada institut Francais di berlin dan di universitas
Preiburg. Pada tahun 1938 M, terbit novelnya yang berjudul La Nausee,
sedangkan Le Mur terbit pada tahun 1939 M. Sejak itu, muncullah
karya-karyanya yang lain dalam bidang filsafat.
Menurut Sartre, eksistensi manusia mendahului esensinya. Pandangan ini amat
janggal sebab biasanya harus ada esensinya lebih dahulu sebelum keberadaannya.
Bagaimana sebenarnya yang dimaksud oleh Satre? Filsafat eksistensialisme
membicarakan cara berada didunia ini, terutama cara berada manusia. Dengan kata
lain, filsafat ini menempatkan cara wujud-wujud manusia sebagai tema sentral
pembahasannya. Cara itu hanya khusus ada pada manusia karena hanya manusialah
yang bereksistensi. Binatang, tumbuhan, bebatuan memang ada, tetapi mereka
tidak di sebut bereksistensi. Filsafat eksistensialisme mendamparkan manusia
kedunianya dan menghadapkan manusia kepada dirinya sendiri.
Menurut ajaran eksistensialisme, eksistensi manusia mendahului esensinya.
Hal ini berbeda dari pertumbuhan, hewan, dan bebatuan yang esensinya mendahului
eksistensinya, seandainya mereka mempunyai eksistensi. didalam filsafat
idealisme, wujud nyata di anggap mengikuti hakikat. Jadi, hakikat manusia
mempunyai ciri lain. Oleh karena itu, dikatakan bahwa manusia itu eksistensinya
mendahului esensinya. Formula ini erupakan prinsip utama dan pertama di dalam
filsafat eksistensialisme.
Gabriel Marcel
Dalam filsafatnya, ia menyatakan bahwa manusia tidak hidup sendirian,
tetapi bersama-sama dengan orang lain. Akan tetapi, manusia mmiliki kebebasan
yang bersifat otonom. Dalam hal itu, ia selalu dalm situasi yang ditentukan
oleh kejasmaniaannya. Dari luar, ia dapat menguasai jasmaninya, tetapi dari
dalam ia dikuasai oleh jasmaninya. Didalam pertemuannya dengan manusia lain,
manusia mungkin bersifat dua macam. Yang lain itu merupakan objek baginya, jadi
sebagian dia mungkin juga merupakan yang ada bagi aku. Aku ini membentuk diri
terutama dalam hubungan aku-engkau ini. Dalam hubungan ini kesetiaan lah yang
menentukan segalagalanya. Jika aku percaya kepada orang lian, setialah aku
terhadap orang lin itu, dan kepercayaan ini menciptakan diri aku itu. Setia itu
hanya mungkin karena orang merupakan bagian dikau yang mutlak(Tuhan) kesetiaan
yang menciptakan aku ini pada akhirnya berdasarkan atas partisipasi manusia kepada
Tuhan.
Manusia bukanlah manusia yang statis, sebab ia senantiasa menjadi
(berproses).ia selalu menghadapi objek yang harus diusahakan, seperti yang
tampak dalam hubungannya dengan orang lain.
Perjalanan manusia ternyata akan berakhir pada kematian, pada yang tidak
ada. Perjuangan manusia sebenarnya terjadi di daerah perbatasan antara tidak
berada. Oleh karena itu, manusia menjadi gelisah, menjadi putus asa dan takut
kepada kematian. Namun, sebenarnya kemenangan kematian itu hanyalah semu saja,
sebab hanya cinta kasih dan kesetiaan itulah yang memberi harapan untuk
mengatasi kematian. Di dalam cinta kasih dan kesetian ada kepastian bahwa ada
Engkau yang tidak dapat mati. Harapan itulah yang menerobos kematian. Adanya
harapan menunjukkan bahwa kemenangan kematian adalah semu. Ajaran tentang
harapan ini menjadi puncak ajara Marcel. Harapan ini menunjukkkan adanya Engkau
Yang Tertinggi, yang tidak dapat dijadikan objek manusia. Engkau Tertinggi
inilah Allah, yang hanya dapat ditemukan di dalam penyerahan seperti halnya
kita menemukan Engkau atas sesama kita dalam penyerahan dan dalam keterbukaan
dan pertisipasi dalam berada yang sejati.[15]
- PRAGMATISME
Pragmatisme berasal dari kata “pragma” (bahasa yunani) yang berarti
tindakan, perbuatan. Pragmastisme adalah aliran dalam filsafat yang
berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki
kegunaan bagi kehidupan nyata.
Pragmatisme berpandangan bahwa substansi kebenaran adalah jika segala
sesuatu memiliki fungsi dan bermanfaat bagi kehidupan. Misalnya, beragama
sebagai kebenaran, jika agama memberikan kebahagiaan , menjadi dosen adalah
kebenaran jika memperoleh kenikmatan intelektual, mendapatkan gaji atau apa pun
yang bernilai kuantitatif dan kualitatif. Sebaliknya jika memberikan kemadharatan
, tindakan yang dimaksud bukan kebenaran, misalnya memperistri perempuan yang
sakit jiwa adalah perbuatan yang membahayakan dan tidak dapat dikategorikan
sebagai serasa dengan tujuan pernikahannya dalam rangka mencapai keluarga
sakinah, mawaddah, warahmah.
Filosof yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William James dan John Dewey dan Charles Sanders Peirce.
1. William James (1842-1910)[16]
Pandangan filsafatnya,
di antaranya menyatakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, berlaku umum, yang
bersifat tetap, yang berdiri sendiri lepas dari akal yang mengenal. Sebab,
pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam
perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam praktik, apa
yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
Nilai konsep atau
pertimbangan kita, bergantung pada akibatnya, pada kerjanya. Artinya bergantung
pada keberhasilan perbuatan yang disiapakan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan
itu benar bila bermanfaat bagi pelakunya memperkaya hidup dan
kemungkinan-kemungkinannya.
2. John Dewey (1859 M)
Sebagai pengikut
filsafat pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah
memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam
pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya. Oleh
karena itu, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara
kritis.
Menurutnya tak ada
satupun yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Jika
mengalami kesulitan, segera berpikir
untuk mengatasi kesulitan itu. Oleh karena itu, berpikir merupakan alat (instrumen) untuk bertindak. Kebenaran dari
pengertian dapat ditinjau dari berhasil-tidaknya memengaruhi kenyataan.
Satu-satunya cara yang dapat dipercaya
untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah
metode induktif. Metode ini tidak hanya berlaku bagi ilmu pengetahuan fisika,
melainkan juga bagi persoalan-persoalan sosial dan moral.
Secara umum,
pragmatisme berarti hanya idea yang dapat dipraktikkan yang benar dan berguna.
Idea-idea yang hanya ada di dalam idea (seperti idea pada Plato, pengertian
umum pada Socrates , definisi pada Aristoteles), juga kebimibangan terhadap realitas objek indra (pada Descartes),
semua itu nonsense bagi pragmatisme. Yang ada ialah apa yang real ada.
3.
Charles Sanders
Peirce
Charles
mempunyai gagasan bahwa suatu hipotesis (dugaan sementara/ pegangan dasar) itu
benar bila bisa diterapkan dan dilaksanakan menurut tujuan kita. Horton dan
Edwards di dalam sebuah buku yang berjudul Background of American literary
thought(1974) menjelaskan bahwa peirce memformulasikan (merumuskan) tiga
prinsip-prinsip lain yang menjadi dasar bagi pragmatisme sebagai berikut :
a.
Bahwa kebenaran ilmu pengetahuan
sebenarnya tidak lebih daripada kemurnian opini manusia.
b.
Bahwa apa yang kita namakan
“universal “ adalah yang pada akhirnya setuju dan mnerima keyakinan dari
“community of knowers “
c.
Bahwa filsafat dan matematika
harus di buat lebih praktis dengan membuktikan bahwa problem-problem dan kesimpulan-kesimpulan
yang terdapat dalam filsafat dan matematika merupakan hal yang nyata bagi
masyarakat(komunitas).
Sumber :
Muzairi, Filsafat Umum, Yogyakarta: Teras, 2009.
Muzairi, Filsafat Umum, Yogyakarta: Teras, 2009.
makasih kak
BalasHapus